Menimbang Kembali Industri Strategis di Indonesia

0 21

DIPL. ING. TJOKRO SUPRIJADI

Pada suatu masa Indonesia menjadi negara yang disegani oleh negara-negara maju dan dielu-elukan oleh negara dunia ketiga. Ini terjadi berkat keberhasilan Indonesia mengembangkan industrialisasi berbasis teknologi, yang membuat sektor industri memberi kontribusi cukup besar hingga 30,5% terhadap PDB. Reformasi 1998 mengubah arah pembangunan, tak terkecuali menyingkirkan industri strategis, yang berakibat turunnya kontribusi industri terhadap PDB. Upaya pemerintahan saat ini dengan menerapkan hilirisasi industri tak memberi hasil signifikan. Karenanya, patut dipertimbangkan oleh pemerintahan masa datang untuk menghidupkan kembali industri strategis yang lebih baik, memilih prioritas industri yang tepat, terbebas dari praktik KKN, dan terlindungi dari perubahan politik.

Dimulai dari Akhir dan Diakhiri dari Permulaan

Pada suatu masa Indonesia pernah menjadi negara dunia ketiga yang begitu disegani dalam bidang industri. Seperti dikemukakan oleh F. Harri Sampurno dalam bukunya The Last Chance: Kebangkitan Industri Strategis Indonesia (2021): “Sejak itulah kita mengenal BUMN Industri Strategis (BUMNIS) yang bersama BPIS menjadikan Indonesia disegani oleh negara-negara industri maupun menjadi kebanggaan negara-negara dunia ketiga. Hampir semua perusahaan kelas dunia dalam bidang industri baik dari AS, Jepang, maupun Eropa berlomba untuk bekerja sama dengan BUMNIS dengan perkembangan industri berbasis teknologinya yang sangat mengesankan. Bahkan menjadi pilihan utama bagi para sarjana baru sebagai tempat kerja yang prospektif.”

Namun industrialisasi yang telah dirintis oleh Presiden Soekarno sekira tahun 1950-an, dan diwujudkan pada masa Orde Baru oleh Presiden Soeharto dengan aktor utamanya B.J. Habibie pada tahun 1970-an yang diteguhkan dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1989 tentang Badan Pengelola Industri Strategis mencapai puncaknya pada Agustus 1995 ketika Indonesia berhasil meluncurkan pesawat terbang buatan anak-anak bangsa yakni N-250 Gatotkaca simbol keberhasilan penguasaan teknologi, yang kemudian runtuh oleh gelombang Reformasi tahun 1998. Perubahan politik memaksa proses industrialisasi ini disingkirkan. Harus diakui, sejak itu pula kontribusi industri terhadap PDB mengalami penurunan yang signifikan.

“Menyambut pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto – Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka patut disampaikan
untuk menimbang diterapkannya kembali strategi industrialisasi berbasis teknologi” TJOKRO SUPRIJADI

Pilihan Indonesia untuk mengembangkan industrialisasi berbasis teknologi memang bukan tanpa alasan. Sumitro Djojohadikusumo dalam bukunya berjudul Perdagangan dan Industri dalam Pembangunan (1985) mengungkapkan bahwa ada tiga pendapat besar tentang industrialisasi yang dianut para teknokrat di Indonesia, yakni industrialisasi berbasis comparative advantage, industrialisasi berbasis transformasi industri melalui penguasaan teknologi, dan keterkaitan dan pendalaman industri. Industrialisasi berbasis keunggulan komparatif dikembangkan dengan memproduksi barang atau jasa berbiaya lebih rendah dari mitra dagangnya. Biasanya ini dipraktikkan karena sumber daya alam yang kaya menjadi andalan, memiliki teknologi mutakhir, memiliki keterampilan khusus, dan wilayahnya dekat dengan pasar. Industri kopi, karet, perikanan, elektronika, tekstil dan otomotif merupakan industriindustri berbasis keunggulan komparatif.

Sedangkan industri berbasis teknologi atau lebih tepatnya industri berbasis transformasi industri melalui penguasaan teknologi dipilih oleh negara yang tidak memiliki atau tidak ingin bergantung kepada sumber daya alam dan sebagai gantinya mengandalkan sumber daya manusia dalam proses industrialisasinya. B.J. Habibie dikenal sebagai pengusung utama dari pendapat ini dan berhasil meyakinkan Presiden Soeharto untuk menerapkannya sepanjang pemerintahan Orde Baru. Dalam konteks ini, pembangunan industri dilakukan dengan memanfaatkan Iptek yang dipercaya akan menjamin pertumbuhan ekonomi bernilai tambah tinggi dan berkelanjutan sehingga tingkat kesejahteraan rakyat meningkat. Transformasi industri dimaksud dilakukan dengan melalui empat tahapan yang kala itu dikenal sebagai “to begin at the end, ending at the beginnings” yakni:

1. Pemanfaatan teknologi dalam proses nilai tambah melalui produksi barang
dan jasa.
2. Integrasi teknologi untuk menghasilkan barang dan/atau jasa baru.
3. Pengembangan teknologi melalui inovasi.
4. Penemuan teknologi melalui penelitian.

Keempat tahapan itu diterapkan kepada industri tertentu yang ditetapkan sebagai wahana penguasaan teknologi dalam rangka transformasi industri atau lebih dikenal sebagai Wahana Transformasi Industri. Industri tersebut secara cermat dipilih berdasarkan sejumlah pertimbangan utamanya “potential demand” yang dipengaruhi sejumlah faktor seperti geografi, penduduk, hingga kebutuhan sarana dan prasarana.

Atas pertimbangan itulah kemudian dipilih industri sebagai berikut: Aerospace, Maritime and Shipbuilding, Land Transportation, Energy Generators, Engineering & Construction, Defense Equipment, Agriculture Machinery, Telecommunication & Electronics, dan Related & Supporting Industries. Industri-industri ini memproses output dari industri dasar menjadi barang bernilai tambah tinggi. Produk yang dihasilkan biasanya berupa barang intermediate yang kelak dijadikan bahan baku bagi proses industri selanjutnya. Inilah yang dikenal sebagai kelompok industri strategis, yang umumnya merupakan industri pengolahan logam yang menjadi sumber utama dalam industri manapun.

Strategi industrialisasi melalui transformasi industri dengan penguasaan teknologi dipercaya memacu produktivitas yang tinggi. Namun demikian strategi ini memerlukan investasi yang sangat besar. Dalam konteks inilah, pada tahun 1989 muncul konsepsi tentang Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) yang menjembatani proses transformasi industri yang memerlukan investasi
relatif besar dengan orientasi penguatan teknologi yang kuat.

Dengan memperhatikan data yang diterbitkan oleh BPS dari waktu ke waktu tentang kontribusi sektor industri terhadap PDB Indonesia sejak tahun 1965 hingga 1999, dapat dikemukakan bahwa ketika industrialisasi baru dirintis pada tahun 1965 kontribusinya hanya 6,5% dan pada tahun 1999 telah mencapai 30,5%, dimana lonjakan kontribusi terjadi ketika Indonesia memasuki Repelita 3, dimana pembangunan nasional menitikberatkan kepada sektor industri dan diterapkannya kebijakan strategi pengembangan industri tertentu melalui penguasaan teknologi. Dan ketika pasca Reformasi 1998 pemerintah menghapus kebijakan itu, yang terjadi adalah deindustrialisasi, ditandai dengan menurun drastisnya kontribusi industri terhadap PDB menjadi hanya 19 % pada
tahun 2019.

Menahan Deindustrialisasi dengan Hilirisasi Industri

Pemerintahan Jokowi berusaha menahan laju deindustrialisasi dengan mengembangkan strategi industrialisasi yang disebut hilirisasi industri, utamanya di sektor pertambangan. Hilirisasi industri adalah proses peningkatan nilai tambah yang dihasilkan oleh suatu sektor industri (tambang misalnya) melalui pengolahan, pengembangan produk turunan, dan diversifikasi produk. Saat ini industrialisasi marak dipraktikkan di sektor tambang, utamanya pertambangan nikel, tembaga, bauksit dan sebagainya.

Pada kenyataannya, seperti diungkap oleh INDEF dalam laporannya tahun 2023 bahwa kontribusi hilirisasi industri terhadap PDB masih kurang ‘greget’.
Nyatanya kontribusi industri terhadap PDB pada tahun 2023 dilaporkan berkisar masih di 18,25%. Sementara dampak negatif dari hilirisasi industri ini mulai mengemuka seperti kerusakan lingkungan, tidak terserapnya tenaga kerja lokal akibat kebijakan yang memberi ruang lebar bagi tenaga kerja asing, serta kebocoran pendapatan negara dari hasil hilirisasi industri akibat praktik KKN.

Menyambut pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto – Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka patut disampaikan untuk menimbang diterapkannya kembali strategi industrialisasi berbasis teknologi. Mengingat strategi ini telah terbukti ampuh dalam meningkatkan kontribusi industri terhadap PDB. Terlebih lagi, strategi ini sangat relevan dengan kenyataan bahwa Indonesia memang kaya sumber daya alam namun sesungguhnya jumlah manusia dan potensi yang dimilikinya jauh lebih kaya, yang mampu meningkatkan nilai tambah sumber daya alam Indonesia beratus kali lipat.

Menutup Kekurangan Industrialisasi Berbasis Teknologi

Penerapan strategi industrialisasi berbasis teknologi pada masa lalu memiliki sejumlah kekurangan yang harus diperbaiki agar meraih hasil terbaik:

1. Menetapkan skala prioritas industri yang menjadi wahana transformasi industri. Pada masa lalu ada 10 BUMNIS yang dikembangkan, namun tidak ditetapkan skala prioritasnya. Hal ini membuat pendanaan proyeknya terbagi rata ke seluruh BUMNIS tersebut, ini menyulitkan ketika sejumlah proyek ternyata memerlukan anggaran yang sangat besar. Saat itu industri  pesawat terbang (IPTN) mendapat perhatian lebih besar, sehingga anggaran dicurahkan sepenuhnya kepada industri ini, sementara ada sejumlah industri yang lain yang tak kalah prospektifnya namun harus mengalah kepada proyek transportasi masal ini.

2. Revolusi Telematika yang tengah terjadi telah membuka ruang-ruang tak terbayangkan dari industri informasi dan komunikasi masa kini. Tak menutup kemungkinan untuk membuka ruang bagi pengembangan industri strategis yang basisnya adalah teknologi telekomunikasi & informasi (Telematika). Termasuk dalam hal ini, mendorong tumbuh dan berkembangnya industri kreatif menjadi salah satu industri strategis baru.

3. Era industri berkelanjutan yang ramah lingkungan menuntut para pemangku kepentingan juga membuka cakrawala baru dalam pengembangan industri penghasil energi ramah lingkungan, yang tak melulu berbasis bahan bakar minyak tapi juga segala macam sumber energi baru terbarukan seperti angin, matahari, dan lainnya.

4. Praktik-praktik korupsi dan kolusi merajalela di masa lalu harus dapat dihapus dari BUMNIS dan BPIS. Ini juga yang membuat pengembangan industri strategis di tingkat koordinasi lapangan menghadapi tantangan serius, mengingat konstelasi yang berubah menuntut kita lebih kuat dalam penegakan hukum pada kasus-kasus korupsi di lingkungan industri strategis.

Bagaimana pun, pada masa Orde Baru BPIS dan BUMNIS mendapat pengawalan langsung oleh Presiden Soeharto sebagai pucuk pimpinan di negeri ini. Namun harus diakui, gerakan politik yang berkelindan dengan gerakan massa pada tahun 1998 berhasil memaksa Presiden Soeharto berhenti dari jabatannya.

Hal ini kemudian berdampak kepada terhentinya program industrialisasi berbasis teknologi. Karenanya pada masa yang akan datang diperlukan instrumen hukum dan dukungan moral yang sangat kuat namun tetap efektif dalam menekan dampak pergantian rezim politik terhadap pengembangan industri strategis.

Leave A Reply

Your email address will not be published.