Mengapa Cina Melesat (Sementara Indonesia Tertinggal)

0 24

Penulis: Elwin Tobing

Anggota Dewan Pakar

 

Tahun 1962, Presiden Soekarno tetap mengundang Tiongkok ikut Asian Games di Jakarta, meski dilarang oleh Komite Olimpiade Internasional. Imbasnya, Indonesia dilarang ikut Olimpiade Tokyo 1964. Saat itu, Indonesia masih “membantu” Tiongkok. Meski miskin, pendapatan per kapita kita lebih tinggi dari mereka—bahkan hingga tahun 1997. Kini, Cina melesat jauh. Indonesia tertinggal. Mengapa?

Sebagian bilang karena Cina menghukum mati koruptor. Tapi negara-negara maju tak menerapkannya, dan tetap berhasil. Ada juga yang menyebut orang Cina itu hemat, pekerja keras, bahkan licik. Mungkin benar. Tapi, seperti ditunjukkan Jepang dan Korea sebelumnya, bukan itu kuncinya.
Faktor utamanya: penghargaan tinggi terhadap pengetahuan. Mereka:
1. Menghargai ilmu.
2. Haus pengetahuan.
3. Disiplin belajar.
4. Tak malu belajar. Tak pura-pura tahu.
5. Kejar ilmu ke mana pun—terutama ke AS.
6. Kirim orang terbaik untuk belajar.

Tahun 2019, ada 370.000 mahasiswa Cina di AS. Hampir 35% dari seluruh mahasiswa internasional. Naik sepuluh kali lipat dari tahun 1990. Dari Indonesia? Hanya 8.300. Bahkan lebih sedikit dari 1990. Cina kirim SDM terbaiknya untuk belajar. Dengan biaya pribadi, beasiswa dari AS, atau dukungan negaranya. Saya pernah bertanya pada Prof. Wright dari University of Pennsylvania soal mahasiswa Cina di program doktor ekonomi mereka, salah satu terbaik di AS. Katanya, “Tanpa kuota, separuh mahasiswa S3 kami orang Cina.” Begitu ambisinya mereka.

Tak hanya di bidang STEM. Tahun 2006, saya mengajar lebih dari 30 pegawai pajak Cina soal sistem perpajakan AS di Cal State University Fullerton (CSUF). Tahun berikutnya, saya beri pelatihan tiga minggu kepada pimpinan universitas dari Cina. CSUF bahkan membuka kelas MBA khusus untuk mahasiswa bisnis Cina. Saya yakin ada juga di universitas AS lainnya.

Cina belajar langsung dari pusat pengetahuan. Pemerintah mendorong. Dosen aktif. Masyarakat terlibat. Saya menyaksikan sendiri. Empat puluh tahun lalu, Wakil Wali Kota Fujian belajar sistem peternakan babi selama tiga minggu di kota kecil Muscatine, Iowa. Namanya: Xi Jinping. Pemimpin Cina sejak 13 tahun terakhir.

Memahami hal ini, sejak 10 tahun terakhir, saya coba membuat program serupa untuk Indonesia. Jangka pendek dan biaya ringan karena subsidi besar. Yang penting efektif. Ditujukan untuk dosen, guru, dan pimpinan daerah. Harapannya: efek multiplier dari ilmu yang relevan dan bisa langsung diterapkan. Mereka jadi agen transformasi. Indonesia butuh percepatan—dan menyeluruh.

Responsnya? Buat frustrasi. Hampir seluruh jenjang pemerintah mempersulit. Meski sudah disubsidi sangat besar, masih diharapkan saya ikut membiayai. Sulit dimengerti. Kecuali karena satu hal: mental gratis. Dan ini cermin dari krisis harga diri. Mengapa bisa begini?

Karena kita belum menghargai ilmu. Budaya pura-pura tahu dan sok tahu masih kuat. Mental proyek, yang melihat segala sesuatu dari sudut “berapa untuk saya”. Norma kickback. Minat belajar lemah.
Sama parahnya, pengetahuan sering dianggap remeh. Gelar palsu merajalela. Indonesia termasuk tertinggi dalam publikasi di jurnal predator alias buruk. Studi Fry, Lynham, dan Tran (2023) menyebut peneliti Indonesia sedang mempermainkan sistem (gaming the system).

Sejak tiga dekade lalu, saya sudah tulis di berbagai media nasional: kemajuan hanya bisa dicapai lewat penguasaan ilmu dan teknologi. Saya ulangi lagi dalam buku Indonesian Dream (2009, 2018): kita butuh loncatan besar dalam belajar—a quantum leap of learning. Belajar butuh kerja keras dan ketekunan. Tapi seperti kata Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia (1970), dua hal itu belum jadi budaya kita. Selama mentalitas ini tak berubah total, kita akan terus tertinggal.

Kalau mau maju, satu kunci utama: hargai, kejar, dan kuasai pengetahuan dengan serius. Tanpa pura-pura. Tanpa sok tahu. Tanpa mental gratis. Tugas besar Presiden Prabowo: bangun budaya relentless pursuit of knowledge. Bisa dimulai dari reformasi mindset aparatur negara. Seperti penataran model P4, tapi berbasis ilmu dan integritas. Dan siapa pun aparat yang menghambat penguasaan pengetahuan—pecat!

(Buku Elwin Tobing berjudul “AGENDA INDONESIA” yang ditujukan untuk mengatasi persoalan fundamental dan besar di atas akan terbit Juni 2025).

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.