Kepemimpinan Masa Depan dan Demokrasi Deliberatif
Dr.Dr. S. SONNY Y. SOEHARSO SPsi., SE, MM, MPsi., Psikolog
Pemimpin itu diciptakan. Seperti Jabang Tetuka yang dididik dan ditempa dalam kawah candradimuka, sebelum menjelma menjadi seorang pemimpin ksatria perkasa bernama Gatotkaca. Demikian pula dengan kepemimpinan nasional di Indonesia. Boleh saja pemimpin sudah tampil pada usia muda, namun hendaknya ia lahir setelah melalui proses penempaan yang panjang. Terlebih pada era
Revolusi Industri 4.0, ketika tantangannya sama sekali berbeda dengan generasi sebelumnya, kepemimpinan mereka memiliki tantangan dan dinamikanya sendiri.
Terlebih, ketika demokrasi yang tumbuh dan berkembang mengalami transformasi menjadi praktik demokrasi yang penuh pertimbangan, konsultatif, musyawarah atau yang dikenal sebagai Demokrasi Deliberatif, maka kemampuan pemimpin dalam menangani perbedaan dan keberagaman sekaligus teguh dalam memperjuangkan negara dan bangsanya akan benar-benar di uji. Untuk itu pemerintahan yang akan datang perlu mengembangkan best practice dalam pelatihan kepemimpinan yang telah teruji dalam hal itu, seperti Pendidikan Wajib Bela Negara, Pramuka, Kepanduan Maritim, Pemuda Dirgantara, OSIS, Senat Mahasiswa, BTN, dan sejenisnya.
Fenomena Kepemimpinan Muda
Sebenarnya bukan hal baru anak muda tampil dalam pentas kepemimpinan nasional. Baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Perhatikan saja Soekarno saat mendirikan Partai Nasional Indonesia berusia 26 tahun, Mohammad Hatta memimpin Perhimpunan Indonesia pada usia 24 tahun dan Sutan Syahrir tampil sebagai ketua PNI Baru pada usia 24 tahun. Dengan demikian, kehadiran anak-anak muda pada masa kini sesuatu yang baik dan mesti disambut positif.
Hanya saja, tampilnya anak muda pada masa lalu, tidak dengan serta merta atau dikatrol oleh kekuasaan atau pengaruh orang tuanya. Mereka menapaki jalan menuju tangga kepemimpinan dengan beraktivitas dalam organisasi pergerakan, terkadang berdarah-darah, nyawa pun menjadi taruhannya. Tentu generasi masa kini memiliki konteks yang berbeda. Meski demikian, mereka
tetap harus ditempa dalam bara api kehidupan nyata.
Hari ini kemajuan teknologi informasi dan hadirnya media sosial sangat membantu generasi masa kini untuk tampil menjadi pemimpin nasional. Kemudahan memperoleh informasi dari berbagai macam media membuat mereka tidak memiliki jurang pengetahuan dengan para seniornya. Demikian pula pendidikan formal tidak lagi menjadi suatu yang dominan dalam mengakses ilmu pengetahuan, mereka kini lebih banyak mendapat ilmu pengetahuan dari pergaulan maupun internet.
Hal yang perlu dilakukan oleh generasi senior agar generasi muda ini tumbuh menjadi pemimpin yang sehat dan kuat ialah memfasilitasi tempat, ruang, dan berbagi pengalaman agar generasi muda sedini mungkin siap tampil ke permukaan. Sebagai contoh, orang tua hendaknya mendorong anak-anak mereka yang baru masuk SMP untuk aktif dalam organisasi kesiswaan (OSIS).
Dalam organisasi tersebut, anak sejak dini membiasakan diri tampil berbicara di depan publik menyampaikan gagasan, membuat poster kampanye dengan kalimat yang efektif, berdebat, bermusyawarah untuk mengenal dan saling menghargai perbedaan pandangan, serta mengarahkan teman-temannya untuk mencapai sesuatu yang disepakati. Kelak, pengalaman tersebut menjadi
bekal yang sangat berharga, dan memberi kepercayaan diri yang lebih, ketika mereka beranjak dewasa dan telah memasuki dunia kerja.
Agar Terhindar Sindrom Generasi Stroberi
Setiap zaman memiliki tantangannya sendiri. Hari ini kita mendapati generasi baru sebagai anak zamannya, hidup mereka begitu dimudahkan oleh teknologi yang semakin pesat, utamanya teknologi informasi berbasis Internet of Thing, AI, dan Big Data yang kini berada pada Era Revolusi Industri 4.0. Mereka tidak lagi mendapat tantangan seperti orang tua atau generasi pendahulunya, yang susah memperoleh makanan, baju yang seadanya, hingga sulitnya memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Namun karena lebih banyak menggunakan gadget, menghabiskan waktu di depan komputer, mereka jadi kurang berinteraksi dengan alam, sesama, dan lingkungan hidupnya. Mereka tercerabut dari alam dan akar budaya kearifan lokalnya. Akibatnya generasi masa kini rentan terhadap tekanan hidup yang melandanya.
Riset-riset psikologi mutakhir mengungkapkan bahwa kesehatan mental generasi muda hari ini, terutama Generasi Z, sangat buruk. Ini ditandai dengan keadaan mudah stres, mudah emosi, pengendalian diri yang kurang, tercerabut dari lingkungan yang personal, lebih independen, lebih mandiri, tapi lebih penyendiri, dan kecenderungan bunuh diri yang semakin meningkat. Artinya
ketahanan emosi (emotional intelligence) mereka lebih rendah dari orang tua mereka.
Tantangannya ialah bagaimana para pemimpin muda ini memiliki ketahanan mental dan ketahanan fisik serta kemampuan berpikir jangka panjang. Padahal diketahui aktivitas yang terlalu banyak menggunakan gadget dan komputer menyebabkan kita mengalami myopia, ketika mata bekerja dalam rentang penglihatan hanya beberapa sentimeter. Pada bagian lain, periode kepemimpinan yang pendek seperti lima tahunan, juga merefleksikan pemihakan kepada visi yang pendek, sehingga yang dikerjakan seorang pemimpin adalah hal-hal yang berjangka pendek seperti pembangunan infrastruktur, serta menghindari program-program yang jangka pengerjaannya lebih panjang dan bahkan melalui beberapa generasi. Padahal membangun negara dan bangsa visinya harus menjangkau yang jauh, memiliki jangka panjang, bahkan terkadang harus melampaui horizon semestanya.
Kondisi semakin diperparah, ketika pembangunan mental generasi masa kini terasa timpang. Menyitir lagu Indonesia Raya: “Bangunlah jiwanya bangunlah badannya..untuk Indonesia raya.” Yang terjadi hari ini terasa timpang, yang dilakukan lebih banyak bangunlah badannya dan abai terhadap pembangunan jiwa. Itu bisa disaksikan dari menghilangnya kurikulum sekolah yang berkenaan
dengan Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Budi Pekerti, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, Sejarah Dunia, dan tidak ada pendidikan bela negara serta wajib militer bagi mahasiswa.
Sebagai partai politik sudah menjadi kewajiban kita untuk memfasilitasi anak anak muda Indonesia untuk bergabung ke dalam partai politik. Agar dapat berbuat sesuatu bagi negara dan bangsanya kita harus punya kekuasaan, karena itu kita mengajak generasi muda untuk bergabung ke dalam politik. Hal berikutnya ialah dikembangkannya kompetensi diri yang membuat mereka mampu bersaing dalam kancah nasional maupun global. Kompetensi itu bisa terkait teknologi, pertanian, pertahanan militer, dan perubahan iklim. Dengan bergabung pada partai politik, mereka mendapat kesempatan untuk mengasah kompetensinya, sehingga tidak menjadi generasi strawberry yang kurang bergerak, terkena diabetes dan obesitas karena kebanyakan makan dan minum gula sambil menghabiskan waktu dengan gadget dan komputer.
Menyiapkan Pemimpin Era Demokrasi Deliberatif
Sayangnya Indonesia tidak memiliki strategi manajemen pemerintahan yang mumpuni dalam membangun bangsanya. Kita tidak memiliki strategi pendidikan, strategi ekonomi, strategi politik, strategi teknologi, dan sebagainya. Sebagai contoh, dalam hal strategi pendidikan, mestinya Indonesia dapat memilih untuk memberikan pendidikan secara gratis dari pendidikan tingkat dasar sampai perguruan tinggi dan tidak menyerahkan masalah pendidikan anak-anak bangsa kepada kaum kapitalis yang melihat pendidikan sebagai komoditas semata. Demikian pula kita bisa memilih strategi ekonomi yang lebih memihak pada ekonomi rakyat dan koperasi daripada memfasilitasi konglomerasi dan pasar bebas. Hal yang telah dikeluhkan oleh banyak pihak sebagai penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi bangsa kita.
“Demokrasi deliberatif merupakan praktik demokrasi yang penuh pertimbangan, dimana proses pemberian alasan atas suatu kebijakan publik diuji lebih dahulu lewat konsultasi publik atau diskursus publik” – SONNY Y. SOEHARSO
Perlu diingat bahwa dalam kerangka manajemen pemerintahan di Indonesia tidak ada visi menteri yang ada adalah visi presiden yang diilhami oleh janji kemerdekaan yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yakni: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Siapa pun yang menjadi presiden harus dapat menerjemahkan keempat visi ini menjadi strategi pemerintahan yang efektif.
Dalam kerangka itulah, praktik demokrasi yang deliberatif menjadi suatu keniscayaan. Apa maksudnya? Demokrasi deliberatif merupakan praktik demokrasi yang penuh pertimbangan, dimana proses pemberian alasan atas suatu kebijakan publik diuji lebih dahulu lewat konsultasi publik atau diskursus publik. Pada demokrasi yang deliberatif, partai politik dilibatkan dalam pemerintahan namun tetap diberi keleluasaan untuk bersikap kritis terhadap jalannya pemerintahan. Demokrasi Deliberatif dianggap sebagai bentuk lain dari demokrasi permusyawaratan sebagaimana diamanatkan oleh para founding fathers kita. Sebuah proses pengambilan keputusan sebuah bangsa yang dilakukan dengan memusyawarahkan atau mengkonsultasikannya kepada segenap elemen bangsa tersebut. Dalam era teknologi telematika yang sudah canggih seperti saat ini, proses demokrasi deliberatif bukan suatu hal yang sulit untuk negeri seluas dan seberagam Indonesia.
Praktik demokrasi deliberatif juga memerlukan pemimpin-pemimpin yang siap dan terbiasa dengan diskursus dan pertarungan pendapat dan pemikiran. Seperti kita pahami bersama, pemimpin itu tidak muncul dengan sendirinya. Pemimpin itu diciptakan, harus dididik, ditumbuhkembangkan melalui suatu sistem pendidikan kepemimpinan yang efektif, baik dalam lingkup partai maupun lembaga-lembaga lainnya. Kita mengusulkan kepada pemerintahan baru untuk lebih menggiatkan wajib militer, pendidikan bela negara, pramuka, kelompok pecinta alam, hingga OSIS. Berbagai kegiatan tersebut dapat menghindarkan generasi masa kini dari sindrom generasi strawberry sekaligus mendidik pemimpin yang memiliki jiwa patriotisme serta peduli terhadap alam sekitarnya. Pelatihan kepemimpinan di dalamnya kelak membentuk visi yang jauh ke depan. Tidak ada lagi pemimpin yang dihadirkan dengan asal “comot” lalu serta merta “dijual” kepada publik. Sebab, dalam jangka panjang praktik seperti ini akan merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Dalam upaya memperkuat pemikiran di atas, maka materi bela negara, perubahan iklim dan pemanasan global serta ekonomi sirkular, dan bank sampah, dapat menjadi mata kuliah wajib dalam materi kurikulum sekolah dasar hingga perguruan tinggi sebagai bentuk komitmen bangsa Indonesia terhadap lingkungan hidup yang sehat dan ketahanan nasional yang kuat khususnya ketahanan ekonomi, ketahanan iklim, dan ketahanan pangan.