Membereskan Bea Cukai Kita
Peter F Gontha
Ketua Dewan Pakar Partai NasDem 2024-2029
Penerimaan dari bea masuk (impor) dan bea keluar (ekspor) serta cukai berkontribusi besar bagi pembangunan di Indonesia. Karenanya, membereskan Lembaga Kepabeanan dan Cukai agar dapat bekerja efektif menjadi sebuah keharusan bagi pemerintahan Indonesia ke depan. Perolehan pendapatan dari Bea dan Cukai kita masih jauh dari harapan, tahun 2024 baru mencapai Rp286,2 triliun dari potensi yang seharusnya.
Karena itu, perlu diurai benang kusutnya yang mencakup penyempurnaan regulasi, memisahkan Dirjen Bea dan Cukai (DJBC) bersama institusi pengumpul pendapatan lainnya menjadi lembaga yang langsung bertanggung jawab kepada presiden, perluasan pelayanan, inovasi dalam penarikan cukai, hingga pemanfaatan teknologi digital dalam pelayanan bea dan cukai.
Namun semua itu tak bisa berjalan efektif manakala kualitas moral dan mental sumber daya manusianya tidak diperbaiki. Dalam konteks inilah urgensi restorasi mental menjadi sebuah conditio sine qua non.
Masih Jauh dari Harapan
Bea dan Cukai merupakan salah satu sumber pemasukan negara yang sudah lama dijalankan oleh bangsa ini.
Dalam catatan kuno Nusantara abad ke-15, naskah Bujangga Manik, telah dikenal istilah pabeanan sebagai sebuah tempat di pelabuhan Kalapa (kini Jakarta) guna pemeriksaan keluar masuk barang. Pada naskah kuno yang lain diceritakan bahwa ketika kapal dagang VOC pada abad ke-16 berada di Pelabuhan Pabean, Banten, mereka juga diwajibkan membayar pajak (bea) atas barang yang hendak diangkut ke negerinya.
Dari pungutan bea inilah negara memperoleh dana guna membiayai berbagai aktivitasnya. Saat ini pengelolaan bea dan cukai sudah jauh lebih kompleks. Kontribusi pendapatan negara dari kepabeanan dan cukai sangatlah signifikan.
Laporan Dirjen Bea dan Cukai (DJBC) menyebutkan bahwa dari realisasi sementara pendapatan negara tahun 2023 sebesar Rp2.744,3 triliun, salah satunya bersumber dari sektor kepabeanan dan cukai yang menyumbang Rp286,2 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp50,8 triliun dari Bea Masuk, Rp13,6 triliun dari Bea Keluar, dan Cukai sebesar Rp221.8 triliun.
Konon, jumlah tersebut lebih rendah dari yang ditargetkan. Tidak mengherankan bila pada tahun 2024 Pemerintah dan DPR sepakat untuk menaikkan pendapatan negara dari bea dan cukai menjadi Rp321,0 triliun.
Peningkatan ini dilakukan dengan keyakinan bahwa sesungguhnya potensi pendapatan kepabeanan dan cukai Indonesia jauh lebih besar dari yang saat ini berhasil dikumpulkan. Ibarat benang kusut, demikian kondisi pengelolaan kepabeanan dan cukai kita. Kondisi inilah yang menyebabkan usaha menaikkan pendapatan negara dari kepabeanan dan cukai masih jauh dari harapan.
DJBC dalam laporannya sebagaimana termuat dalam situs resmi www.beacukai.go.id pada 9 Januari 2024 bahwa penyebab rendahnya perolehan negara dari bea dan cukai ini lebih disebabkan oleh faktor eksternal, di mana situasi ekonomi menjadi biang keroknya.
Sebut saja, menurunnya bea masuk disebabkan oleh penurunan nilai impor tahun 2023 yang menjadi -8,8% (yoy) penurunan harga komoditi andalan seperti CPO yang merosot 34.1 % (yoy) padahal ekspor minyak kelapa sawit tumbuh 3%.
Namun demikian pernyataan ini perlu dicermati, mengingat harga sawit pada hari ini (Juli 2024) menurut situs www.tradingeconomics.com adalah US$ 4.020/Mt. Artinya pemasukan dari Bea keluar (Ekspor) juga harusnya naik seimbang kenaikan harga tersebut, demikian pula bea keluar Bauksit yang merosot jauh hingga -83% (yoy) akibat kebijakan pelarangan ekspor, meski bea produk hilirisasi naik.
Beruntungnya bea keluar tembaga tumbuh 10,8% (yoy) berkat kebijakan realisasi ekspor.
Gambar 1 Perkembangan Harga CPO Dunia tahun 2015-2024 Batu bara sebagai salah satu komoditi ekspor andalan juga demikian.
Kenaikan bea keluar (ekspor) harga batu bara belum sesuai. Apakah ekspor komoditas sudah sesuai prosedur? Apakah ada kolusi antara pengusaha tambang Batu Bara dan hasil bumi dengan para petugas bea cukai di daerah? Mengekspor 100 tapi laporannya hanya 50 atau bahkan lebih kecil dari itu.
Apakah perlu adanya pengecekan antara dokumen pengapalan Bill of Lading, Asuransi dengan pendapatan pajak ekspor dan Pendapatan Negara Bukan Pajak seperti Royalti yang masih di bawah target sebesar Rp200 triliun?
Gambar 2 Perkembangan Harga Batubara Dunia pada 2015-2024
Gambar 3 Perkembangan harga Nikel pada 2015-2024
Pada bagian lain, penerimaan dari sektor cukai juga mengalami penurunan.
Pemerintah mengungkap kebijakan pembatasan kegiatan merokok dalam rangka mengendalikan produksi rokok menjadi salah satu penyebabnya. Disebutkan bahwa pada tahun 2023 terjadi penurunan produksi rokok hingga 1,8% (yoy), untuk golongan I menurun hingga -14%, sementara produksi rokok golongan II naik hingga 11,6% dan golongan III mencapai 28,2 % Kondisi membaik justru terjadi pada penerimaan cukai dari etil alkohol dan minuman beralkohol yang meningkat akibat membaiknya bisnis pariwisata.
Mengurai Benang Kusut
Pemerintah harus jujur, menurunnya atau belum tercapainya target penerimaan pendapatan dari bea dan cukai bukan hanya disebabkan oleh faktor eksternal, namun juga dari dalam diri lembaga DJBC itu sendiri. Sejumlah faktor internal itu adalah:
- Penguatan Kelembagaan
Sama seperti institusi lainnya yang bernaung dalam negara hukum, semua persoalan bea dan cukai tentu saja berujung pada regulasi yang melegitimasi kewenangan dan tugas serta tanggung jawab lembaga yang menangani kepabeanan dan cukai (dalam hal ini Dirjen Bea dan Cukai).
Pada masa lalu, keberadaan lembaga ini didasarkan kepada Gouvernment Besluit Nomor 33 tanggal 22 Desember 1928 yang memberi tugas dan kewenangan kepada De Dienst der Invoer en Uitvoerrechten en Accijnzen (Dinas Bea Impor dan Bea Ekspor serta Cukai) untuk memungut invoer-rechten (bea impor/masuk), uitvoer-rechten (bea ekspor/keluar), dan accijnzen (excise/ cukai). Setelah Indonesia merdeka lembaga yang menjalankan adalah Pejabatan Bea dan Cukai yang kemudian berevolusi menjadi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, yang saat ini bernaung di bawah Kementerian Keuangan RI.
Berbagai kelemahan dan keluhan muncul terkait kinerja DJBC, utamanya proses birokrasi yang berbelit sehingga barang impor diproses lama, biaya yang tidak pasti dan mahal, kebocoran serta penyelundupan. Ini mendorong pemerintah pada tahun 1995 menerbitkan Undang-undang tentang bea dan cukai menggantikan Undang-undang buatan Hindia Belanda. Undang undang dimaksud ialah UU RI No.10 tahun 1995 tentang Kepabeanan dan UU RI No.11 tahun 1995 tentang Cukai.
Keduanya menjadi tonggak penting yang memberi kekuatan dan memodernisasi sistem pengelolaan kepabeanan dan cukai di Indonesia. Salah satunya yang menonjol ialah diterapkan Electronic Data Interchange (EDI) yang menekan sesedikit mungkin interaksi manusia yakni antara petugas dengan konsumen.
Regulasi ini kemudian disempurnakan dengan dilakukan perubahan atas kedua undang-undang tersebut dengan diterbitkannya UN RI No.17 Tahun 2006 dan UU RI No. 39 tahun 2007.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah posisi lembaga bea dan cukai yang masih berada di bawah naungan Kementerian Keuangan RI.
Padahal, pada sistem pemerintahan yang maju seperti di Amerika Serikat dan Korea, institusi yang bertugas mengumpulkan pendapatan atau penerimaan negara bernaung pada sebuah badan yang khusus yang langsung bertanggung jawab kepada presiden.
Hal ini dimaksudkan untuk memberi penguatan atas tugas, wewenang, dan tanggung jawab bagi lembaga kepabeanan dan cukai dengan memperoleh arahan langsung dari kepala pemerintahan.
- Perluasan Jangkauan Pelayanan
Wilayah Indonesia berupa kepulauan yang luas sangat memerlukan pengawasan dan penjagaan bagi terjadinya penyelundupan. Untuk itu, pengembangan organisasi menjadi salah satu opsi yang tak bisa dihindarkan. Belum semua provinsi di Indonesia memiliki kantor wilayah bea dan cukai, saat ini baru ada 20 kantor wilayah Bea Cukai.
Dalam kerangka itu, perlu dipertimbangkan penambahan kantor wilayah di tingkat provinsi. Tentu saja, ini berimplikasi pada penambahan jumlah personil serta sarana pendukung utamanya baik perangkat pemantauan maupun kendaraan patroli atau sejenisnya.
- Penambahan Produk Kena Cukai
Sebagaimana diketahui, saat ini cukai dipungut dari produk yang dihasilkan dari etil alkohol, minuman beralkohol, dan hasil tembakau seperti rokok dan sejenisnya. Ketiganya dikenakan cukai karena pemakaiannya menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan hidup.
Sesungguhnya di balik pertimbangan itu, pemungutan cukai atas ketiganya juga memberikan kontribusi pendapatan yang signifikan bagi negara. Cukai hasil tembakau (CHT) tahun 2023 mencapai Rp188,9 triliun, sementara cukai minuman beralkohol memberi kontribusi Rp8,1 triliun. Tidak menutup kemungkinan Pemerintah dapat menambah produk-produk atau barang masa kini yang dikenakan cukai.
Sejumlah barang potensial untuk dipungut cukainya adalah minuman berpemanis, emisi karbon, dan kantong plastik. Pada masa kini produk minuman berpemanis juga dianggap mulai mengganggu kesehatan masyarakat sehingga perlu dibatasi atau diatur peredarannya.
Sementara itu, isu lingkungan hidup menjadi landasan untuk menarik cukai atas penggunaan kantong plastik. Sedangkan produk yang penggunaannya menghasilkan emisi karbon yang memicu terjadinya rumah kaca dan mendorong climate change.
- Sistem Penjaluran Kepabeanan
Saat ini sistem penjaluran yang diterapkan dalam proses impor telah memudahkan para importir. Jalur dimaksud ialah (1) Jalur Prioritas yang diberikan khusus kepada importir yang memiliki rekam jejak sangat baik di mana pengeluaran barang dilakukan secara otomatis, (2) Jalur Hijau untuk importir baik dengan komoditas berisiko rendah, (3) Jalur Kuning untuk importir baik dengan komoditas risiko sedang (4) Jalur Merah untuk importir baru, importir lama yang memiliki catatan khusus, dengan komoditas berisiko tinggi dan diawasi, serta (5) Jalur Mitra Utama yang hanya disiapkan di Kantor Pelayanan Utama.
Dengan sistem penjaluran ini, mereka yang sungguh-sungguh melakukan impor secara taat aturan mendapat pelayanan yang memudahkan, sehingga pengeluaran komoditas impor tidak berlarut-larut prosesnya.
Meski demikian, sistem ini jika tidak diterapkan secara teguh dan konsisten akan membuka peluang terjadinya kongkalingkong antara petugas dengan importir.
- Penggunaan Teknologi Digital
Harus diakui penggunaan EDI System sejak tahun 1995 telah menekan serendah mungkin terjadinya interaksi antara petugas dengan importir dan eksportir. Kita tidak menutup mata masih adanya celah dimana interaksi itu tetap dapat terjadi. Dalam kerangka ini diperlukan terobosan yang lebih progresif dengan memanfaatkan teknologi yang tersedia.
Salah satunya adalah pemanfaatan teknologi digital dalam pengurusan impor dan ekspor. Hadirnya Mobile Beacukai, sebuah aplikasi yang memandu publik untuk dapat melacak status barang kiriman, penghitungan bea masuk, pelacakan status pengajuan dokumen impor (PIB) ekspor (PEB), manifest, cukai, hingga perkembangan kurs mata uang.
Ada pula aplikasi NLE (National Logistic Ecosystem) yang dikembangkan oleh DJBC guna memberikan pelayanan kepada publik terkait logistik secara terintegrasi. NLE Mobile menyelaraskan arus lalu lintas barang dan dokumen dengan menyediakan DO Online, SP2 Online, Pemesanan kendaraan pengangkut, depo kontainer, pergudangan, depo kontainer, hingga pemesanan slot kapal angkut tak terkecuali pembayaran atas layanan maupun kewajiban yang memang harus disediakan. Ini langkah maju yang patut diapresiasi dari inovasi yang dilakukan oleh DJBC.
- Penegakan hukum
Penegakan hukum menjadi persoalan paling berat dari pengelolaan kepabeanan dan cukai di Indonesia. Bagaimana pun, hampir semua tahapan dalam proses impor dan ekspor memiliki peluang terjadinya fraud, terlebih jika melibatkan uang dalam jumlah besar.
Sehingga penegakan hukum menjadi hal yang tak boleh ditawar. Demikian pula penyelundupan barang yang melintasi perbatasan tanpa dokumen yang legal atau masuknya barang-barang terlarang seperti narkoba dan sejenisnya menjadi titik kritis yang hanya bisa di atasi jika petugas Bea Cukai benar-benar tidak melakukan tawar menawar dengan para penjahat ekonomi itu.
Penegakan hukum juga penting dilakukan ketika terjadi perselisihan antara lembaga Kepabeanan dan Cukai dengan importir, utamanya terkait besarnya tarif bea masuk atau hal-hal yang berhubungan dengan aktivitas impor-ekspor. Selama ini, perselisihan tersebut dibawa ke ranah hukum melalui peradilan pajak.
Restorasi Mental Sebuah Keharusan
Perbaikan sistem memang perlu, terlebih kehadiran teknologi pendukung yang semakin canggih, memungkinkan kita bisa meraih lebih banyak lagi pendapatan bea dan cukai.
Namun demikian, terjadinya kebocoran, fraud, hingga tak tertanganinya berbagai penyelundupan yang terjadi di wilayah kerja dan tanggung jawab Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), terjadi akibat moral dan mental para petugasnya yang merosot. Sehingga, membereskan DJBC harus dimulai dengan melakukan pembenahan kualitas moral dan mental para pegawainya. Tentu tidak mudah, namun pengalaman menunjukkan strategi pembenahan kualitas mental dan moral sumber daya manusia jauh lebih
efektif daripada pembenahan elemen organisasi lainnya.