Kita Harus Berani Menyediakan Pendidikan Gratis
Dr. YUSHERMAN
Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah alasan mendasar mengapa negara ini didirikan oleh para founding fathers. Untuk itu, siapa pun yang memimpin negeri ini harus memiliki keahlian dan sikap yang serius untuk memastikan setiap warganya memperoleh pendidikan dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi. Praktik kapitalisme harus dijauhkan dari dunia pendidikan, sama halnya korupsi tak boleh menyentuh sektor pendidikan. Untuk itu, harus ada keberanian dari para pengambil kebijakan negeri ini untuk menggratiskan pendidikan bagi anak-anak bangsa tanpa
terkecuali.
Harus Serius dan Ahli
Pendidikan itu diselenggarakan untuk mencerdaskan bangsa. Itu amanat tertuang dalam konstitusi kita, merupakan salah satu alasan mengapa para pendiri bangsa membentuk negara ini. Karenanya, pendidikan harus dikelola secara serius oleh siapa pun yang memegang pemerintahan dari masa ke masa. Sayang sekali, pemerintah saat ini belum mencapai harapan bangsa dalam
mengelola penyelenggaraan pendidikan sebagaimana diamanatkan.
Betapa tidak, kementerian yang mengurusi pendidikan dipercayakan kepada orang yang bukan ahli pendidikan. Akibatnya kita semua tahu. Banyak persoalan di dalam penyelenggaraan pendidikan terjadi dan tak bisa diselesaikan dengan baik. Tentu yang sangat bertanggung jawab atas hal itu tiada lain pucuk pimpinan di kementerian pendidikan. Para pengambil keputusan tidak memahami hakikat pendidikan sebagaimana digariskan oleh konstitusi.
Sebagai gambaran dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut: Kurikulum tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena tidak dipikirkan secara masakmasak. Fondasi infrastruktur di tingkat dasar hingga menengah masih sangat kekurangan. Bangunan sekolah SD, SMP, SMA, jauh dari memadai, terutama di daerah-daerah. Guru-gurunya tidak tersedia dengan cukup dan berkualitas. Hal
yang lain, pendidikan tinggi kita masih jauh dari berkualitas. Peringkat perguruan tinggi Indonesia juga tertinggal jauh dari negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.
Jalan satu-satunya harus ada langkah berani untuk fokus dan serius menangani pendidikan dengan mempercayakan kepemimpinan pendidikan ini kepada ahlinya. Selain itu, anggaran pemerintah yang 20% itu benar-benar dialokasikan untuk memastikan peserta didik di seluruh jenjang mendapatkan secara gratis. Termasuk memberikan pendidikan gratis di tingkat perguruan
tinggi, utamanya perguruan tinggi negeri. Tentu saja bukan berarti kita mengurangkan kualitasnya. Dengan anggaran sebesar Rp700 triliun, yang dikelola bebas dari praktik-praktik korupsi, yakinlah itu bisa dilakukan.
Harus Gratis dan Bebas Korupsi
Permasalahan yang tidak kalah ruwetnya yakni berkenaan dengan luaran pendidikan vokasional yang dikaitkan dengan lapangan kerja. Terus terang saja, pendidikan vokasional kita juga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Keterkaitan antara lembaga pendidikan vokasi dengan dunia usaha dan industri (DUDI) masih kurang terintegrasi. Yang sering terjadi, ketika sebuah industri
dibuka di suatu daerah nyatanya angkatan kerja di daerah tersebut tidak banyak yang dapat direkrut, mereka hanya jadi penonton. Sementara industri harus berjalan, akibatnya tenaga kerja didatangkan dari luar daerah tersebut, bahkan dari luar negeri. Harusnya, pemerintah punya kebijakan yang kuat mengaitkan setiap pengembangan industri baru di suatu wilayah dengan penyiapan tenaga kerja setempat dengan pendidikan vokasi yang relevan.
Pengelolaan pendidikan tinggi saat ini juga mengarah kepada komersialisasi yang sangat membahayakan. Terlebih ketika mendirikan sebuah lembaga pendidikan tinggi didasari pada perhitungan untung-rugi, itu sudah lampu merah bagi pendidikan kita. Janganlah pendidikan kita diberlakukan sebagai sebuah praktik komersial. Bagi saya, bagaimana pun pendidikan adalah
tanggung jawab bangsa sepenuhnya, membiarkan para kapitalis masuk dan menjalankan pendidikan layaknya sebagai bisnis itu salah besar.
Untuk itu saya mengusulkan pendidikan tinggi itu benar-benar gratis total, tanpa embel-embel beasiswa bidik misi atau apa pun namanya. Kalau perlu, kirim sebanyak-banyaknya mahasiswa Indonesia untuk belajar ke mancanegara secara gratis. Dalam kerangka ini, untuk urusan pendidikan gratis, para pemimpin kita harus berani mengambil sikap yang memihak. Kalau
pemimpinnya tidak berani mengambil sikap, kasihan anak-anak negeri ini.
Ini tercermin dari pengalokasian anggaran pendidikannya. Ketika kita mewajibkan anak-anak Indonesia mengikuti pendidikan, maka sudah terlihat berapa jumlah bangku sekolah yang harus disiapkan sejak dari SD sampai SMA. Jadi jangan sampai, ketika para siswa SD lulus mereka tidak dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi hanya karena tidak tersedia bangku sekolahnya,
demikian pula mereka yang lulus SMP jangan sampai tidak dapat ditampung di jenjang SMA karena makin sedikit jumlah bangkunya. Anggaran pendidikan harus mampu menyediakan bangku sekolah sejumlah siswa yang ada.
Harus diakui mutu pendidikan tinggi kita sejak dua puluh tahun silam begitu terpuruk. Karena itu selain membenahi manajemen penyelenggaraan pendidikannya, perlu dilakukan terobosan penyelenggaraan pendidikan yang kompetitif. Dalam hal ini, patut dicoba hal sebagai berikut:
Pertama, merekrut tenaga-tenaga pengajar yang berkualitas dari kampus-kampus luar negeri;
Kedua, selain mengirim sebanyak-banyak mahasiswa Indonesia untuk belajar di kampus-kampus ternama dunia juga memberi kesempatan kepada para mahasiswa dari mancanegara untuk menempuh pendidikan di Indonesia, baik difasilitasi melalui pemberian beasiswa maupun biaya mandiri. Kehadiran para mahasiswa asing di kampus-kampus dapat memicu kompetisi yang sehat.
Ketiga, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar juga penting dijalankan. Ini bukan berarti kita meninggalkan penggunaan bahasa Indonesia.
Keempat, penelitian menjadi prioritas dalam aktivitas akademik yang dalam pelaksanaannya dapat bersinergi dengan Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI). Hal-hal tersebut diyakini sangat memacu persaingan, meningkatkan wawasan dan membangun percaya diri generasi muda Indonesia, utamanya dalam pergaulan dunia.