Indonesia Teladan dan Pelopor Moderasi Keragaman Dunia
HABIB Dr. MOHSEN HASAN ALHINDUAN, MA.
Moderasi keragaman, jangan dikacaukan dengan moderasi keberagamaan ataupun toleransi keragaman, merupakan sikap menghindarkan diri dari perilaku fanatisme, radikalisme dan ekstremisme dalam menjalankan kehidupan beragama, sosial dan budaya, serta bermasyarakat. Moderasi keragaman merupakan keharusan peradaban dan praktik-praktik yang berlawanan dengannya sangat mengancam keberlanjutan sebuah peradaban. Indonesia merupakan negara yang terlahir sebagai Negeri Keragaman, dibangun dalam naungan nilai Bhinneka Tunggal Ika (unity in diversity), telah menjadi teladan bagi praktik moderasi keragaman yang berhasil, dan karenanya Pemerintah Indonesia perlu memelopori praktik moderasi keragaman sebagaimana para pendahulu bangsa sukses memelopori penghapusan kolonialisme di muka bumi dengan melahirkan Bandung Spirit.
Teladan Moderasi Keragaman
Ada banyak kisah dalam khasanah Islam tentang moderasi keragaman. Beberapa diantaranya saya ceritakan berikut ini. Diriwayatkan oleh Anas bin Malik pada suatu waktu seorang kafir Quraisy membayar seorang Yahudi untuk mengganggu Rasulullah Muhammad SAW. Rasulullah diketahui selalu melewati sebuah lorong untuk mencapai Kabah di Mekkah. Ketika Rasulullah lewat di lorong itulah sang Yahudi itu memanggilnya. Meski tidak mengenal yang bersangkutan, Rasulullah tetap mendatanginya. Tiba-tiba sang Yahudi itu meludahinya. Rasul tidak memberikan reaksi negatif, selain segera melanjutkan perjalanannya tanpa melakukan perlawanan apa pun.
Demikianlah, hal ini terjadi setiap kali Rasulullah melintasi lorong itu. Sampai pada suatu ketika, ia pergi melintasi lorong itu dan tak mendapati sang Yahudi mengganggunya. Rasulullah bertanya kepada orang-orang yang ada di dekat lorong itu, kemanakah gerangan sang Yahudi. Rasulullah mendapat informasi bahwa sang Yahudi tengah sakit keras. Demi mendengar hal itu,
Rasulullah bergegas ke pasar dan membeli sejumlah makanan untuk kemudian dibawanya sebagai buah tangan. Rasulullah membesuk sang Yahudi. “Untuk apa kau datang kemari?” Demikian orang yahudi terkejut. “Karena tak ada yang meludahiku. Aku pikir sesuatu telah terjadi. Ternyata benar engkau sakit. Aku datang untuk menjengukmu,” kata Rasulullah. Betapa terharunya orang Yahudi itu: “Ketahuilah Muhammad, sejak aku sakit tidak ada seorang pun yang datang menjenguk, bahkan orang yang menyewaku untuk menyakitimu.”
Dengan suara terisak orang Yahudi terus berbicara: “Sungguh luhur budimu Muhammad, kendati engkau telah aku ludahi setiap hari, tidak pernah engkau merasa benci dan dendam. Justru engkau datang menjenguk aku yang sekarang
tidak berdaya ini.”
“Tenanglah,” demikian Rasulullah mencoba menenangkan orang Yahudi itu, “aku kemari bukan untuk membalas dendam. Aku hanya ingin melihat
kondisimu dan mendoakanmu. Dan aku yakin engkau meludahiku karena belum tahu kebenaran yang aku bawa. Jika engkau mengetahuinya, aku yakin
engkau tak akan melakukannya.” Sebuah cerita lain datang dari Al Qusyairi dalam buku Risalatul Al Qusyairiyah tentang dinamika persahabatan antara dua sahabat Rasulullah yakni Abu Dzar
Al Ghifari dan Bilal bin Rabah. Diceritakan kedua sahabat ini terlibat cekcok, adu mulut tak terhindarkan. Sampai akhirnya dari mulut Abu Dzar terlontar katakata:
“Dasar hitam!” Bilal yang memang memiliki ras kulit hitam tersinggung dan tidak terima dengan umpatan itu. Bilal mengadukan itu kepada Rasulullah.
Demi mendengar aduan tersebut, Rasulullah pun memanggil keduanya dan menanyakan kebenarannya. Setelah memastikan faktanya, Rasulullah pun
berkata: “Abu Dzar, di benakmu masih tersimpan keangkuhan Jahiliyah.” Abu Dzar menjatuhkan dirinya ke atas tanah. Ia sangat menyesal. Ia pun bersumpah
tak akan mengangkat kepalanya sebelum Bilal berkenan menginjakkan kakinya kepada pipi Abu Dzar. Lebih jauh Rasulullah menasihati Abu Dzar dengan
kalimat yang sangat terkenal sampai saat ini: “Perhatikan (wahai Abu Dzar)! Sungguh kamu tidak lebih baik (di sisi Allah) dari mereka yang berkulit merah
atau berkulit hitam kecuali bila kamu melebihi mereka dalam ketakwaan.”
Ya, Rasulullah telah memberi teladan kepada umat manusia tentang bagaimana seharusnya memperlakukan keragaman dalam suatu kehidupan bermasyarakat.
Pernyataan Rasulullah yang paling monumental dari moderasi keragaman ini adalah apa yang disampaikannya dalam pidato terakhirnya di hadapan puluhan
ribu umatnya yang tengah menjalankan ibadah haji di padang Arafah pada tahun 632 H. Berikut adalah salah satu bagian pidatonya yang fenomenal,
yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Arafah: “Semua manusia berasal dari Adam dan Hawa, seorang Arab tidak memiliki kelebihan di atas non-Arab,
dan seorang non-Arab tidak memiliki kelebihan di atas Arab; juga seorang putih tidak memiliki kelebihan di atas seorang hitam, tidak juga seorang hitam
memiliki kelebihan di atas orang putih, kecuali dalam ketakwaan dan ibadahnya. Camkanlah bahwa setiap muslim adalah saudara bagi setiap muslim lainnya
dan bahwa umat Islam adalah satu persaudaraan. Tidak boleh harta seorang muslim menjadi hak seorang muslim lain kecuali jika sudah diberikan secara
sukarela dan ikhlas. Karena itu, jangan lakukan perbuatan tidak adil pada dirimu sendiri.”
Moderasi Keragaman sebuah Keharusan Peradaban
Apa yang saya sampaikan tentang kisah-kisah Rasulullah di atas hanya sedikit saja yang memberikan gambaran betapa Islam dalam membangun
peradabannya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai dasar kemanusiaan yang disebut moderasi keragaman. Masih ada banyak cerita lagi yang menguatkan
keyakinan saya bahwa Islam merupakan salah satu agama yang meletakkan moderasi keragaman sebagai fundamen peradabannya.
Moderasi berasal dari bahasa Latin moderatio, yang berarti kesedangan (tidak kelebihan dan tidak kekurangan) atau penguasaan diri dari sikap sangat
kelebihan dan kekurangan. Moderasi merupakan sikap menjaga keseimbangan atau tidak menitikberatkan sesuatu hanya terhadap salah satu pihak semata.
Dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai sikap pengurangan kekerasan atau penghindaran perilaku ekstrim.
Dengan demikian, moderasi keragaman adalah suatu sikap mengurangi kekerasan atau perilaku ekstrim dalam praktik beragama, bersosial dan budaya,
dan selalu mencari jalan tengah yang menyatukan dan membersamakan semua elemen dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Moderasi keragaman merujuk ke dalam bentuk-bentuk moderasi keragaman dalam beragama, dalam bersosial-budaya, dan moderasi perilaku sehari-hari.
Wujud paling nyata dari praktik moderasi keragaman dalam beragama ialah menghormati hak setiap orang untuk memeluk agamanya serta memberi ruang
bagi mereka untuk menjalankan ibadah sesuai agamanya masing-masing. Sementara moderasi sosial budaya mewujud kepada sikap menghormati dan
menghargai keanekaragam sosial maupun kebudayaan yang dimiliki suatu masyarakat. Sedangkan moderasi keragaman dalam kehidupan sehari-hari
diperlihatkan dengan tidak mengganggu atau menghalangi orang-orang yang menjalankan aktivitas kehidupan pribadi maupun sosialnya. Dengan demikian,
moderasi keragaman merupakan salah satu elemen peradaban yang sangat diperlukan sebagai perekat majunya sebuah peradaban.
Pada saat ini sangat musykil mengembangkan sebuah peradaban yang bersifat homogen, baik dari segi individu-individu pembentuknya maupun nilai-nilai
yang diterapkannya. Peradaban yang maju dan berkelanjutan adalah peradaban yang mampu menempatkan masing-masing elemen pembentuknya dalam
sebuah interaksi harmonis dan saling menghidupi. Hal ini hanya dimungkinkan bila bangsa dimaksud secara fundamental menjadikan nilai-nilai moderasi
keragaman sebagai basis peradabannya. Peradaban masa kini tumbuh dan berkembang dari keragaman, baik keragaman etnis, suku bangsa, sosial budaya,
maupun agamanya.
Indonesia Contoh Toleransi Keragaman
Indonesia terlahir sebagai Negeri Keragaman. Bentuk wilayahnya berupa kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau di dalamnya, mengisyaratkan adanya keragaman penghuninya. Benar saja, 270 juta penduduk Indonesia adalah penutur lebih dari 700 jenis bahasa lokal, pemeluk enam agama dunia dan ratusan keyakinan lokal. Keragaman juga menjadi warna latar belakang
penduduknya baik dalam bidang pendidikan, status sosial ekonomi, maupun orientasi budaya. Karenanya, pilihan para founding fathers menetapkan
slogan resmi: Bhinneka Tunggal Ika (Unity in Diversity) adalah keputusan yang sangat tepat. Berbeda-beda tapi satu juga merupakan sebuah deklarasi
tentang moderasi keragaman yang dihayati betul oleh para pendiri bangsa. Bhinneka Tunggal Ika merupakan nilai dasar yang diwariskan oleh para pendiri
bangsa tentang bagaimana mengelola moderasi keragaman demi menjamin keberlangsungan negara dan bangsa ini.
Harus diakui, Indonesia merupakan sedikit dari negara yang berhasil mengelola moderasi keragamannya. Terutama dalam pengelolaan moderasi beragama.
Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas memeluk Islam. Namun sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah, posisi itu tak membuat pemeluk agama
lain merasa dianaktirikan atau bahkan mengalami praktik-praktik intoleransi oleh mayoritas. Tempat peribadatan non-muslim dapat dibangun di tempattempat
komunitas agama tersebut tumbuh dan berkembang, demikian pula pemerintah memberi kesempatan sama untuk setiap agama yang diakui negara
untuk memperoleh hari libur nasional guna memberi kesempatan pemeluknya untuk menjalankan ibadahnya secara leluasa.
Demikian pula dalam pengelolaan moderasi keragaman sosial dan budaya, di Indonesia pergaulan antar-suku dan ras tidak menimbulkan perselisihan atau
gesekan sosial yang berarti. Meski harus diakui, sempat ada riak-riak yang terjadi namun penyebab utamanya lebih karena alasan-alasan politis dan ekonomis,
seperti kasus Ambon, Sambas, dan Poso. Namun hal tersebut tak mampu memupus spirit bangsa Indonesia dalam mengedepankan toleransi sosial
dan budaya. Tentu masih banyak lagi praktik-praktik yang sukses menjadikan Indonesia sebagai negara teladan toleransi keragaman.
Keteladanan ini penting, mengingat toleransi keragaman merupakan salah satu prasyarat bagi sebuah peradaban dapat tumbuh dan berkembang
secara berkelanjutan. Banyak negara kini menghadapi tantangan serius dari keberlanjutannya karena menguatnya radikalisme dan ekstrimitas sebagai
lawan dari moderasi keragaman, baik radikalisme agama maupun sosial dan budaya.
Kongres Dunia untuk Moderasi Keragaman
Dasa sila Bandung yang dihasilkan dari Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 menjadi kontribusi besar Indonesia terhadap peradaban dunia modern.
Deklarasi yang berisi seruan untuk membebaskan diri dari praktik kolonialisme itu telah menggerakkan banyak bangsa untuk merdeka dan berdaulat. Bangsa bangsa itu kini telah berkembang dan memajukan peradabannya masingmasing. Namun peradaban tersebut terancam oleh sikap ekstrim dan radikal
dari orang-orang yang “masih menyimpan keangkuhan jahiliah”.
Ancaman ekstremisme dan radikalisme keragaman kian hari kian serius, yang kemudian menggerakkan para tokoh dunia untuk bertemu dan menyampaikan
kegundahannya. Salah satunya adalah pertemuan antara Paus Fransiscus dan Imam Besar al Azhar, Syeikh Ahmad El-Tayyeb di Abu Dhabi, UAE, pada 4
Februari 2019. Pertemuan itu menghasilkan sebuah dokumen persaudaraan kemanusiaan (human fraternity document) yang isinya antara lain menegaskan
bahwa musuh bersama kita saat ini adalah ekstremisme akut, hasrat saling memusnahkan, perang, intoleransi, dan rasa benci di antara sesama umat manusia, yang semuanya mengatasnamakan agama.
Sebagai Negeri Unity in Diversity, yang menjadi teladan dalam moderasi keragaman, yang juga sukses berkontribusi memusnahkan praktik kolonialisme
di muka bumi, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk berperan aktif dalam membangun moderasi keragaman di dunia. Jika pada masa lalu
Soekarno bersama-sama koleganya dari India, Burma, Sri Lanka, dan Pakistan menyerukan bangsa-bangsa Asia dan Afrika untuk berkumpul di Bandung dan
menyalakan api perlawanan terhadap kolonialisme, maka pemimpin Indonesia saat ini harus mengambil inisiatif untuk bergandengan tangan bersama para pemimpin dunia guna mendeklarasikan moderasi keragaman sebagai keharusan peradaban.