Hanya Ada Satu Solusi: Cabut UU Migas dan UU Minerba

0 40

Penulis: Kurtubi

Anggota Dewan Pakar Partai NasDem

 

Akibat pengelolaan migas yang melanggar konstitusi, saat ini belasan pasal dari UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Selain UU Migas ini juga menggunakan sistem yang tidak disukai oleh Investor dengan mewajibkan investor membayar pajak dan pungutan selama eksplorasi. Padahal mereka belum berproduksi. Hal ini seperti yang diatur dalam pasal 31 UU Migas No.22/2001.

Pengelolaan seperti itu melanggar Pasal 33 UUD 1945 dan ini tidak disukai investor. Hal-hal yang tidak disukai investor ini dimulai ketika Menteri ESDM mengambil alih wewenang kuasa pertambangan dariPertamina yang dibentuk dengan UU Migas Nomor 44/Prp/1960 dan UU Pertamina Nomor 8/1971 dan sudah terbukti berhasil menjadikan sektor migas menjadi sumber utama penerimaan APBN hingga 80%.

Kuasa pertambangan diambil alih oleh Menteri ESDM yang kala itu dijabat oleh Purnomo Yusgiantoro. Padahal Menteri ESDM/ pemerintah termasuk Menteri ESDM sesudahnya hingga sekarang tidak memenuhi syarat untuk melakukan kegiatan penambangan migas secara langsung, tidak bisa melakukan pengeboran dan memproduksikan serta menjual migas secara langsung, tidak bisa melakukan kegiatan usaha migas secara langsung.

Sehingga Menteri ESDM yang pertama sejak UU Migas Nomor 22/2001 berlaku hingga Menteri ESDM saat ini, harus menunjuk perusahaan/pihak ketiga. Hal ini berarti bahwa mereka secara langsung mengikuti seperti pengelolaan Migas dan minerba zaman penjajahan yang menggunakan UU Pertambangan (Indische Mijnwet) dengan menerbitkan/ mengeluarkan konsesi berupa IUP atau kontrak karya.

Faktanya saat ini Menteri ESDM Bahlil Lahadia juga menunjuk pihak ketiga untuk menghidupkan kembali lapangan-lapangan minyak tua atau untuk menerapkan teknologi EOR  (enhanced oil recovery) terhadap lapangan migas tua. Itu karena dirinyasebagai Menteri ESDM termasuk jajaran BP MigasI/ SKK Migas yang merupakan lembaga pemerintah semuanya tidak eligible melakukan kegiatan usaha migas.

Faktanya hingga kini, pengelolaan migas yang tidak sesuai dengan Pasal 33 UUD 45 ini terus dibiarkan dibiarkan. Fakta juga target lifting migas dalam APBN nyaris selalu gagal dicapai setiap tahun oleh semua Menteri ESDM selamat dua dekade. Itu karena kegiatan/investasi eksplorasi produksi migas terus turun dan import migas terus naik.Padahal potensi cadangan migas masih sangat besar.

Secara geologis terdapat sekitar 130 cekungan sedimen (sedimentary basins) di mana sekitar setengahnya masih belum di eksplorasi secara intensif. Saat ini pengelolaan migas nasional belum  menerapkan teknologi eksplorasi produksi yang sudah proven seperti yang diterapkan oleh Amerika. Negara adi kuasa itu juga berhasil menaikkan produksi migasnya secara signifikan.

Amerika pun menjadi produsen migas terbesar di dunia saat ini. Bahkan saat ini di bawah Presiden Donald Trump, Amerika tidak segan-segan untuk keluar dari Paris Agreement on Climate Change dan bertekad tetap menggunakan/ memanfaatkan cadangan migasnya. Ini bisa dimaklumi karena cadangan migas Amerika sangat besar.

Saya tetap berkeyakinan UU Migas Nomor 22/2001 yang di endorse oleh IMF mencabut UU Migas Nomor 44/Prp/1960 dan mencabut UU Pertamina Nomor 8/1971 yang baru berusia satu tahun.

Pada tahun 2002 saya meminta agar UU Migas No.22/2001 supaya dicabut selagi dampak negatifnya masih pada tahap dini. Pendapat/saran saya ini saya tulis di Majalah Tempo edisi Oktober 2002. Juga saya sampaikan di Forum Konfrensi Guru Besar di Makassar tahun 2012. Selain itu juga saya sampaikan di Buku Catatan 80 Tokoh Nasional yan diterbitkan oleh Menteri Pemuda dan Olahraga dalam rangka memeringati 80 Tahun Sumpah Pemuda.

Juga ketika saya menjadi anggota DPR di Komisi VII 2014-2018. Ketika itu saya sampaikan agar menyerahkan pengelolaan migas ke perusahaan negara yang khusus dibentuk oleh undang-undang, yaitu   Pertamina.

Pertamina sudah terbukti berhasil membawa sektor migas menjadi sumber utama penerimaaan APBN dan sumber utama penerimaan divisa hasil eksport dengan menerapkan sistem kontrak bagi hasil B to B, antara Pertamina dan semua investor migas.

Dalam implementasi amanat konstitusi, kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) bertujuan untuk memastikan bahwa perolehan negara dari pengelolaan migas harus lebih besar dari perolehan keuntungan Investor dengan standard 65% untuk APBN/negara dan 35.% untuk Investor setelah cost recovery.

Termasuk ketika terjadi oil boom di mana harga minyak dunia melonjak tinggi melahirkan fenomena windfaal peofit di Industri minyak dunia. Bagian Negara dinaikkan oleh presiden bukan oleh Dirut Pertamina yang menandatangani PSC dengan investor. Meskipun persentase yg diterima investor lebih kecil, tetapi keuntungan yang diterima masih lebih tingg dari sebelum oil boom.

Penerimaan APBN dan peneriman devisa hasil export didominasi oleh sektor migas. Ekonomi nasional pun tumbuh tinggi hingga menembus 9.8% atau tertinggi dalam sejarah perekonomian nasional ketika produksi migas dan harga minyak dunia mengalami booming.

Kita tentu mendukung cita-cita Presiden Prabowo agar ekonomi nasional tumbuh 8%. Oleh sebab itu, saya sarankan agar presiden  mencabut UU Migas dan UU Minerba yang tidak sesuai dengan Pasal 33 UUD45 karena masih menggunakan sistem konnsesi IUP dan kontrak oleh pemeritah.

Terapkan sistem tata Kelola aset sumber daya alam migas dan minerba dengan sistem kontrak bagi hasil. Semua investor dipermudah, semua perizinan diurus oleh Pertamina sebagai pemegang kuasa pertambangan dan penanda tangan PSC, investor tidak boleh dikenai pajak dan pungutan sebelum berproduksi.

Setelah pengelolaan migas dan minerba sesuai dengan undang-undang, program hilirisasi migas minerba yang membutuhkan dana besar dan teknologi akan berjalan dengan efisien dan optimal tanpa menggunakan dana APBN. Itu karena wewenang kuasa pertambaan di tangan perusahaan negara yang dibentuk dengan undang-undang di mana kuasa pertambangan merupakan intangible asset.

Aset tidak berwujud yang diakui oleh Lembaga Keuangan/ Perbankan International sehingga akan dapat mempermudah pendanaan tanpa menggunakan dana APBN. Penerimaan negara dari pengelolaan sumber daya alam yang konstitusional dipastikan akan meningkat berlipat-lipat. Sasaran pertumbuhan ekonomi 8% pun bukan sesuatu yang mustahil.

Leave A Reply

Your email address will not be published.