Bom Waktu Demografi Indonesia
Penulis : Elwin Tobing
Anggota Dewan Pakar Partai NasDem
Dua dekade lalu di Boston, saya duduk bersama Profesor David Canning dari Harvard. Saat itu, beliau memaparkan riset tentang dampak positif perubahan demografi terhadap pertumbuhan ekonomi di Asia Timur seperti Korea, Taiwan, dan Hong Kong. Kebetulan, riset saya waktu itu juga soal perubahan demografi dan tabungan nasional. Bersama David Bloom, mereka termasuk di antara peneliti yang mempopulerkan istilah bonus demografi.
Istilah ini kini jadi salah satu “buzzword” paling populer, selain Revolusi 4.0. Politisi menyebutnya sebagai kunci masa depan Indonesia. Birokrat sibuk dengan rapat dan kertas kerja. Pebisnis melihat peluang pasar. Masyarakat pun bertanya-tanya: benarkah sehebat itu?
Bonus demografi terjadi saat proporsi penduduk usia produktif (15–64 tahun) jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kelompok non-produktif (usia kurang dari 15 dan 65+). Artinya, beban tanggungan usia non-produktif menurun. Ini muncul karena penurunan angka kelahiran dan membaiknya taraf hidup, yang memperpanjang usia harapan hidup.
Dengan beban ketergantungan yang menurun, produktivitas tenaga kerja naik, tabungan nasional bertambah, permintaan tenaga kerja terampil meningkat, dan kelas menengah makin berkembang. Semua ini membentuk fondasi kokoh bagi pertumbuhan jangka panjang. Tapi, apakah semudah itu? Jawabannya bergantung pada satu hal: kondisi tenaga kerja.
Apakah penduduk usia muda punya keahlian dan terserap di pasar kerja? Jika tidak, bonus demografi bisa berubah jadi beban demografi. Apalagi di tengah perubahan teknologi yang cepat. Jika dibiarkan, kelompok “tertinggal” ini akan jadi beban fiskal dan sosial. Sebuah bom waktu demografi.
Mari lihat data Indonesia. Fokus pada usia muda (15–29 tahun). Selama 23 tahun terakhir, dari 2000 hingga 2023, tidak banyak kemajuan:
Pengangguran terbuka:
2000 = 14.9%
2023 = 14.2%
Pengangguran terselubung (bekerja kurang dari 35 jam/minggu):
2000 = 29.1%
2023 = 24.2%
Total pengangguran:
2000 = 44%
2023 = 38.4%
Jika pakai definisi lebih longgar (bekerja kurang dari 20 jam/minggu), total pengangguran malah stagnan:
2000 = 26.2%
2023 = 26.8%
Lebih parah lagi bila kita hitung anak muda yang tidak kuliah dan menganggur:
2000 = 48.1%
2023 = 40.1%
Artinya, empat dari sepuluh anak muda kita tidak atau kurang produktif. Padahal, merekalah yang diharapkan menjadi tulang punggung pembangunan Indonesia dalam 15–40 tahun ke depan.
Kenapa kondisi ini bisa terjadi? Akar utamanya adalah lemahnya perencanaan tenaga kerja, buruknya realisasi peningkatan kualitas SDM, serta rapuhnya pembangunan industri manufaktur dan agroindustri nasional.
Tahun 1993, atau lebih dari tiga dekade lalu, saya sudah menyoroti hal ini dalam artikel di Bisnis Indonesia, membahas masalah struktural dalam menciptakan kesempatan kerja di Indonesia.
Salah satu bagian dari tulisan tersebut menyatakan: “Mengatasi masalah peningkatan kesempatan kerja ini tidak cukup hanya dengan instrumen-instrumen kebijakan makro, tetapi juga membutuhkan adanya perencanaan ketenagakerjaan yang komprehensif dan integral.
Pada dasarnya perencanaan tenaga kerja mengandung dua penekanan. Di satu sisi instrumen perencanaan tenaga kerja harus memuat perkiraan kebutuhan tenaga kerja untuk berbagai sektor, waktu, dan keahlian tertentu. Di sisi lain, memuat strategi, cara, dan langkah-langkah pemenuhan kebutuhan tenaga kerja, baik melalui sistim pendidikan maupun melalui program-program latihan.”
Sayangnya, hingga kini perencanaan tenaga kerja kita masih jauh dari memadai. Parsial, tidak sistematis, dan lemah kaitannya dengan kebutuhan pembangunan nyata. Ada disconnect antara pendidikan tinggi, pelatihan tenaga kerja, dan arah kebijakan industri serta pembangunan.
Akibatnya, bukan hanya lapangan kerja yang terbatas, tetapi lulusan pendidikan dan pelatihan pun tidak nyambung dengan kebutuhan sektor riil. Ini masalah kronis, setidaknya sejak 35 tahun terakhir.
Kesalahan ada di kedua sisi. Lembaga pendidikan dan pelatihan tenaga kerja belum cukup kuat dalam kualitas. Sementara sektor riil pun lemah memberi umpan balik, baik dalam perencanaan ekonomi makro maupun mikro.
Dengan kata lain, ekosistem ketenagakerjaan dan pembanguna berkelanjutan kita belum terbentuk. Koordinasi antar-institusi masih lemah. Akhirnya, peluang bonus demografi justru akan menjadi beban. Inilah tantangan nyata yang harus kita jawab bersama. Bila tidak, itu bisa menjadi bom waktu demografi dengan segala persoalan sosial yang muncul.