Mendesak Hadirnya Industri Nuklir Terintegrasi Hulu Hilir

0 92

Penulis: Kurtubi, Anggota Dewan Pakar Partai NasDem

Hampir semua negara industri maju memiliki pengalaman dalam membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Itu terjadi sekitar tahun 1950 hingga tahun 1960-an.

Terbaru, Tiongkok mulai digolongkan sebagai negara industri maju. Tiongkok dalam sejarah perekonomiannya, pernah mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi di atas 7% bahkan tumbuh hingga double digit, di atas 10%.

Saat ini “Negeri Tirai Bambu” itu sudah memiliki sekitar 50 unit PLTN, selain 20-an unit yang sedang dalam proses pembangunan. Hal ini menempatkan Tiongkok akan menjadi negara dengan jumlah PLTN terbanyak kedua di dunia setelah Amerika Serikat.

Menurut Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019 Dr. Kurtubi yang juga anggota Dewan Pakar Partai NasDem, teknologi PLTN, yang saat ini sudah mencapai generasi ke-4, baik yang berbasis uranium (Small Modular Reactor) maupun yang berbasis Thorium (Molten Salt Reactor).

PLTN Gen ke-4 selain menghasilkan listrik bersih bebas emisi karbon, sekarang juga sudah lebih aman. Pembangunannya lebih singkat, lahan yang dibutuhkan pun sedikit atau tidak seluas PLTN generasi 2 dan biaya produksi listriknya lebih murah.

Banyak membangun

Di tengah upaya dunia menuju energi bersih bebas emisi karbon.  Banyak negara merencanakan untuk mambangun PLTN gen ke-4.

“Bahkan negara pulau kecil, seperti Singapura pun tertarik untuk membangun PLTN. Selain itu Philipina juga mulai mengoperasikan PLTN Bataan yang dibangun di era Presiden Marcos,” ujar Kurtubi.

Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, sudah sejak tahun 1950-an, Presiden Soekarno sudah bercita-cita untuk membangun PLTN di Tanah Air.

“Kita punya bahan baku berupa potensi Sumber Daya Alam Energi Nuklir (Uranium dan Thorium) yang ada di perut bumi Nusantara. Itu bisa menjadi modal utama dalam mengembangkan sisi hulu dari industri nuklir,” katanya.

Menurutnya Indonesia juga banyak ahli atau Sarjana Nuklir yang berpengalaman seperti tamatan dari Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan dari luar negeri.

Namun hingga kini, ungkapnya, belum ada satu pun PLTN komersial yang dibangun di mana listriknya dipakai untuk masyarakat, kalangan dunia usaha, dan industri.

Betul, sudah ada undang-undang sebagai dasar untuk membangun PLTN komersial, yaitu UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang (RPNJP) di mana PLTN ditargetkan sudah beroperasi pada tahun 2025.

BATAN sebagai Lembaga Nuklir Negara  kemudian merencanakan membangun PLTN Gen ke-3 plus, di Semenanjung Muria Jawa Tengah berdasarkan studi lokasi yang kredibel.

“Namun faktanya, hingga kini belum ada PLTN komersial yang dibangun oleh BATAN/Pemerintah. Malah yang terjadi adalah kekacauan  dan  kesimpangsiuran (Ore gade kalau dalam istilah Sasak di Lombok) dalam  kebijakan energi nuklir di Tanah Air,” ucap Kurtubi.

Kondisi “Ore Gade” ini muncul setelah terjadinya musibah PLTN Gen ke-3 di Fukushima, Jepang, pada tahun 2011. Ketakutan yang berlebihan dari sebagian masyarakat, telah menyebabkan pemerintah mengeluarkan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang mendiskriminasi PLTN dan diposisikan sebagai opsi terakhir.

BATAN (Badan Tenaga Nuklir National) yang dibentuk oleh pemerintah pada tahun 1958 untuk merealisasikan cita-cita Bung Karno itu, baru sebatas membangun reaktor nuklir eksperimen yang befungsi sebagai tempat praktiknya calon-calon ahli atau Sarjana Nuklir dari ITB, UGM, dll.

Reaktor eksperimen ini tidak menghasilkan listrik yang dibutuhkan oleh rakyat. Dibangun dengan dana negara di tiga lokasi. Yaitu di Serpong, Bandung, dan Yogyakarta.

Ore Gede

Betul, sudah ada Undang-undang sebagai dasar untuk membangun PLTN komersial, yaitu UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang (RPNJP) di mana PLTN ditargetkan sudah beroperasi pada tahun 2025.  BATAN sebagai Lembaga Nuklir Negara  kemudian merencanakan membangun PLTN Gen ke-3 plus, di Semenanjung Muria Jawa Tengah berdasarkan studi lokasi yang kredibel.

Namun faktanya, menurut Kurtubi, hingga kini belum ada PLTN komersial yang dibangun oleh BATAN/Pemerintah. Malah yang terjadi adalah kekacauan  dan  kesimpangsiuran (Ore gade kalau dalam istilah Sasak di Lombok) dalam  kebijakan energi nuklir di Tanah Air.

Kondisi “Ore Gade” ini muncul setelah terjadinya musibah PLTN Gen ke-3 di Fukushima, Jepang, pada tahun 2011. Ketakutan yang berlebihan dari sebagian masyarakat, telah menyebabkan pemerintah mengeluarkan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang mendiskriminasi PLTN dan diposisikan sebagai opsi terakhir.

Kebijakan ini diimplementasikan dalam wujud antara lain;  ketidakjelasan alokasi/sumber anggaran pembangunan PLTN, jadwal pembangunannya tidak jelas, dan rencana kehadiran PLTN di dalam KEN dipersulit, dihambat, dan di ulur-ulur.

Padahal sebenarnya, kata Kurtubi, sudah ada investor energi nuklir Non-APBN, di mana modalnya 100% dari investor dengan rencana membangun PLTN Gen ke-4 berbasis Thorium.

Namun upaya itu tidak segera direspons positif oleh pemerintah karena ternyata Pemerintah “belum siap” untuk memanfaatkan energi nuklir akibat adanya kebijakan membangun 35.000 MW PLTU Batu Bara yang memperoleh prioritas. Apalagi jika PLTN akan menggunakan dana APBN?

Dengan kehadiran NEPIO, timbul rencana pemerintah untuk membentuk lembaga/instansi baru yang  berwenang terkait akan hadirnya PLTN di Indonesia.

Agar sistem dan proses investasinya simpel tidak biroratik dan tidak dijauhi oleh investor, maka sebaiknya manfaatkan lembaga nuklir negara yang sudah ada saat ini, yaitu BAPETEN (Badan Pengawas Tenaga Nuklir).  Tidak perlu dibentuk lembaga baru.

“Saya menyarankan untuk segera mengeluarkan kebijakan baru yang monumental. Yaitu memproklamirkan lahirnya  industri nuklir terintegrasi hulu hilir  di Tanah Air,” ucapnya.

Kebijakan ini, kata Kurtubi, dipastikan akan menciptakan banyak lapangan kerja baru dari berbagai disiplin ilmu dan akan mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional. Sebagai salah satu upaya untuk bisa terbebas dari jebakan pertumbuhan ekonomi yang selama ini hanya berputar-putar di level 5 persen.

“Kebijakan ini bertujuan agar Indonesia bisa menjadi negara industri maju di tahun 2045. Tujuan ini mustahil dicapai jika ekonomi hanya tumbuh di kisaran 5 persen saja,” imbuhnya.

Leave A Reply

Your email address will not be published.