Perang Dagang dan Peluang Indonesia Manfaatkan Momentum

0 51

Arlinda Imbang Jaya 

Anggota Dewan Pakar Partai NasDem

 

 

Pada tanggal 2 April 2025 ini, Presiden Amerika Serikat (AS) terpilih Donald Trump kembali mengguncangkan panggung politik dengan agenda baru “America First” yang mengumumkan ‘National Emergency’ untuk menaikan tingkat tarif kepada mitra dagangnya yang telah menikmati surplus perdagangan dengan AS.

Keputusan ini, yang dikemas sebagai bagian dari apa yang disebut Trump sebagai “Perayaan Amerika,” (Celebrating America 2025), dimaksudkan untuk meningkatkan kembali daya saing, melindungi kedaulatan dan memperkuat keamanan nasional dan ekonomi AS.

Kebijakan tarif Trump kali ini berbeda dengan masa kepresidenannya pertama di era 20 Januari 2017 sampai dengan 20 Januari 2021, telah menimbulkan perang dagang, di mana pada saat ini sejumlah mitra dagang AS menunjukan sikap perlawanan secara nyata dengan segera menyiapkan langkah balasan dan langsung memicu dampak di pasar global dan mengirimkan sinyal yang jelas: “Era baru nasionalisme ekonomi kembali berlangsung”.

Secara umum, AS akan memberlakukan tarif bea impor dengan tarif dasar 10% pada semua impor ke AS, kecuali China tarif dasarnya 20%, dengan bea masuk yang lebih yang lebih tinggi pada puluhan negara lain nya, di antaranya yaitu China 34%, Uni Eropa 20%, Kanada 25%, Jepang 24%, Meksiko 25%, India 26%, Korea Selatan 25%, Thailand 36%, Vietnam 46%, sedangkan Indonesia dikenakan tarif resiprokal sebesar 32%.

Pengenaan tarif resiprokal AS ini yang akan mulai berlaku tanggal 9 April 2025, pastinya akan memberikan dampak signifikan terhadap daya saing produk ekspor Indonesia ke AS. Bagi Indonesia, negara dengan hubungan ekonomi yang erat dengan Amerika Serikat dan ekonomi besar yang bergantung pada ekspor, di mana share ekspor Indonesia ke AS cukup signifikan sebesar 10.5 % dari total ekspor Indonesia ke manca negara,  tantangannya memang berat—tetapi hal ini bukan lah suatu keadaan yang tidak dapat diatasi.

 

Pengekangan strategis

Dirangkum dari data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia ekspor ke AS naik menjadi US$ 26 miliar tahun lalu jika dibandingkan dengan 2023 sebesar US$ 23 miliar. Share nya mencapai 10,5% dari total ekspor Indonesia yang berjumlah US$ 264 miliar.

Sedangkan impor asal AS naik menjadi US$ 9,4 miliar dari US$ 9,2 miliar. Dengan demikian, surplus perdagangan Indonesia dengan AS tercatat sebesar US$ 16,6 miliar. Neraca dagang Indonesia-AS, dalam 5 tahun terakhir (sumber: Kemendag RI), Indonesia terus mencatatkan surplus dagang dengan AS mencapai 42.8% di mana sampai dengan Januari 2025, surplus dagang RI-AS mencapai US$ 1.33 miliar.

Ekspor sebesar US$ 2.32 miliar, Impor sebesar US$ 0.99 miliar. Selama ini produk ekspor utama Indonesia di pasar AS antara lain adalah elektronik, tekstil dan produk tekstil, alas kaki, palm oil, karet, furnitur, udang dan produk-produk perikanan laut. Sedangkan ekspor AS ke Indonesia, utamanya mesin dan produk mesin (machinery), produk-produk pertanian (agricultural products), and kimia dan produk-produk kimia (chemicals).

Indonesia memilih jalan kesabaran dan diplomasi strategis daripada pembalasan (retaliasi). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa Indonesia tidak akan mengenakan tindakan balasan. Sebaliknya, pemerintah akan terlibat dalam upaya diplomatik dan berkonsultasi dengan industri dalam negeri yang paling terdampak oleh tarif—terutama yang bergerak di bidang tekstil, alas kaki, elektronik, dan komoditas pertanian seperti kopi dan kakao maupun kelapa Sawit.

Keputusan ini mencerminkan perspektif jangka panjang: menjaga hubungan dagang sambil diam-diam berupaya untuk mendiversifikasi pasar ekspor ke negara lain yang memberikan prospek lebih baik dan membangun ketahanan di dalam negeri.

Sisi positif

Pada tahun 2025, masuknya Indonesia ke blok BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan) memberikan penyeimbang yang tepat waktu terhadap proteksionisme yang dipimpin AS. Spekulasi Pemerintah Prabowo Subianto boleh dikatakan positip, apalagi diumumkan sebelum Presiden Trump memulai “Berperang dengan Dunia”.

Bergabungnaya Indonesia dengan BRICS menjadi langkah alternatif untuk mengalihkan adanya pembatasan ekspor dengan tarif yang tinggi yang dilakukan oleh AS kepada produk ekspor Indonesia. BRICS menghadirkan peluang strategis bagi Indonesia, tidak hanya untuk mengurangi dampak hambatan perdagangan Barat tetapi juga untuk memposisikan ulang dirinya dalam ekonomi dunia multipolar.

Bagaimana Keanggotaan BRICS Dapat Dimanfaatkan:

  1. Memperluas Perdagangan dalam BRICS+
    1. Negara-negara BRICS secara kolektif mewakili lebih dari 40% populasi dunia dan pangsa PDB global yang terus bertambah.
    2. Indonesia dapat meningkatkan ekspor ke Tiongkok, India, Rusia, Brasil, dan Afrika Selatan, Egypt, UAE, menggantikan pasar yang hilang akibat pembatasan AS.
    3. Perjanjian perdagangan yang ditargetkan dengan anggota BRICS dapat membantu meningkatkan akses pasar untuk karet, minyak kelapa sawit, produk digital, dan makanan olahan Indonesia.
  1. Manfaatkan Infrastruktur Keuangan BRICS
    1. Bank Pembangunan Baru (NDB), yang didirikan oleh BRICS, menawarkan platform pembiayaan alternatif bagi IMF dan Bank Dunia. Indonesia dapat mengusulkan proyek infrastruktur, investasi energi terbarukan, dan peningkatan industri yang dibiayai melalui mekanisme BRICS.
    2. Mengurangi ketergantungan pada perdagangan yang didominasi dolar dengan memperluas penggunaan mata uang lokal, sebagaimana negara-negara BRICS menganjurkan de-dolarisasi, dapat melindungi Indonesia dari volatilitas mata uang.

 

  1. Memperkuat Kerja Sama Selatan-Selatan
    1. Indonesia dapat memposisikan dirinya sebagai jembatan antara ASEAN dan BRICS, memperjuangkan kerja sama negara-negara berkembang.
    2. Melalui forum bersama, kolaborasi penelitian, dan pakta perdagangan Selatan-Selatan, Indonesia dapat meningkatkan posisi tawarnya dalam negosiasi perdagangan global.

Strategi yang Lebih Luas untuk Ketahanan Ekonomi

Selain BRICS, Indonesia harus mengadopsi pendekatan multi-cabang untuk bertahan dari perang dagang:

  • Diversifikasi Pasar Ekspor
    1. Mengalihkan fokus ke pasar non-AS: negara-negara tetangga ASEAN (memperkuat kesatuan yang utuh dengan ASEAN), UE (terutama pasca-UE-Indonesia CEPA), Australia, New Zealand, Pakistan, Bangladesh, dan Timur Tengah, Afrika lainnya dan negara anggota BRICS
    2. Mempromosikan industri khusus—makanan halal, mode, teknologi energi hijau—ke pasar yang tumbuh cepat di Afrika dan Timur Tengah.
  • Memperkuat Manufaktur Dalam Negeri
  1. Mempercepat tujuan “Mewujudkan Indonesia 4.0” dengan memberikan insentif untuk peningkatan industri lokal.
  2. Mengurangi ketergantungan pada bahan baku impor melalui rantai pasokan lokal dan pengelompokan industri.
  • Mendukung Sektor Rentan
  1. Memberikan subsidi, keringanan pajak, atau akses kredit untuk UKM di sektor yang dirugikan oleh tarif.
  2. Mendorong transformasi digital industri tradisional untuk meningkatkan produktivitas. 4. Memajukan Kepemimpinan Regional
  3. Sebagai anggota G20 dan ekonomi terbesar ASEAN, Indonesia dapat memimpin dalam membentuk pakta ketahanan perdagangan Asia Tenggara.
  4. Menggunakan platform seperti RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) dan IPEF (Indo-Pacific Economic Framework) untuk pengaruh kolektif.
  • Perbaikan internal
  1. Menciptkan iklim investasi yang kondusif dan kepastian berusaha
  2. Law enforcement (penegakan hukum)
  3. Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
  4. Perbaikan struktural serta kebijakan deregulasi yaitu penyederhaan regulasi dan penghapusan regulasi yang menghambat, khususnya terkait dengan Non-Tariff Measures (NTMs).
  5. Perlu menjaga kepercayaan pelaku pasar dan menarik investasi, peningkatan pertumbuhan ekonomi serta penciptaan lapangan kerja yang luas.

 

Kesimpulan: Mengubah Krisis Menjadi Peluang

Mengingat AS merupakan salah satu mitra dagang penting bagi Indonesia, yang merupakan negara dengan share 10.5 % dari total ekspor Indonesia, maka langkah penolakan Indonesia untuk membalas perang dagang Trump bukanlah tanda kelemahan, melainkan kebijaksanaan strategis. Dengan menggunakan gangguan untuk mempercepat diversifikasi ekonomi dan memperdalam keterlibatan dengan BRICS dan negara-negara non-AS lainnya, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada Barat dan muncul sebagai ekonomi yang lebih tangguh, mandiri, dan terintegrasi secara global.

Kuncinya terletak pada penyelarasan kemahiran diplomatik dengan transformasi ekonomi. Dengan pelaksanaan yang cermat, Indonesia dapat mengubah tantangan ini menjadi titik balik memimpin gelombang baru Kerja sama Global South di abad ke-21.

Leave A Reply

Your email address will not be published.