Awal Babak Baru Hubungan Indonesia-Amerika
Penulis: Elwin Tobing
Anggota Dewan Pakar
Presiden Prabowo telah mengambil langkah yang tepat. Indonesia memutuskan untuk tidak menggugat kebijakan tarif sepihak dari pemerintahan Trump. Pemerintah akan memperbaiki hambatan non-tarif yang selama ini menghambat impor dari Amerika Serikat, sembari mendorong peningkatan impor dari negara tersebut. Ini bukan bentuk menyerah. Ini strategi yang diperhitungkan.
Saat banyak pengamat sibuk melihat badai dan terpaku pada masalah jangka pendek, Presiden Prabowo justru melihat gambaran besar. Ini kemenangan lewat langkah mundur yang strategis. Ia berpikir jangka panjang, bukan sekadar mengikuti siklus berita harian.
Pengumuman tarif Trump datang pada waktu yang sangat tepat, di tengah libur panjang Lebaran. Jika tidak, pasar saham bisa saja anjlok dan rupiah tertekan lebih dalam. Keputusan ini memberi ruang bagi Prabowo untuk berpikir jernih.
Pendekatan yang terukur ini membawa stabilitas yang sangat dibutuhkan. Seperti yang sering saya tekankan, Indonesia tidak akan menang dalam perang dagang melawan Amerika Serikat. Singkatnya, kita lebih membutuhkan mereka jika dibandingkan dengan mereka membutuhkan kita.
Sejarah telah membuktikan hal ini. Amerika membangun kembali Eropa Barat lewat Marshall Plan. Mereka juga berperan besar dalam kebangkitan Jepang, Korea Selatan, bahkan Tiongkok menjadi kekuatan ekonomi dunia. Jika kita mampu memaksimalkan kemitraan dengan AS, peluang bagi Indonesia sangatlah besar.
Alih-alih bereaksi emosional, Presiden Prabowo menunjukkan sikap kenegarawanan. Ini ujian pertamanya di panggung global. Jika ditindak-lanjuti dengan tepat dan benar, nilainya akan menjadi A+. Saat pemerintah memetakan sektor dan komoditas yang terdampak, saya mengusulkan tiga langkah prioritas, baik secara strategis maupun operasional.
Menyusun ulang hubungan RI–AS
Indonesia butuh cetak biru baru untuk hubungan dengan Amerika Serikat. ASEAN tetap penting, tetapi relasi bilateral dengan AS harus menjadi prioritas utama. Saya menyebutnya: Amerika adalah frontier lama yang kini menjadi frontier baru.
Selama ini kita terlalu lama mengabaikan relasi ini. Buktinya jelas: posisi duta besar Indonesia di Washington sempat kosong dua tahun. Dalam sepuluh tahun terakhir, kita sudah lima kali berganti duta besar. Ini bukan cerminan negara yang memahami bobot kekuatan dan pengaruh Amerika. Paling baik, ini kelalaian. Paling buruk, kegagalan strategi.
Kita harus mengubah pola pikir. Para diplomat kita harus memahami AS secara mendalam — politik domestiknya, peran globalnya, serta kebijakan luar negerinya di era America First. Mereka juga harus bebas dari bias politik.
Terlalu sering saya lihat diplomat kita condong ke satu partai di AS, biasanya Demokrat. Apakah karena kebijakan Timur Tengah atau sekadar pola pikir kelompok, saya tidak tahu pasti. Yang jelas, kita butuh diplomat yang seimbang, cerdas, dan mengutamakan kepentingan nasional, sembari memahami dinamika politik Amerika yang kompleks.
Penunjukan diplomat senior harus berdasarkan meritokrasi, bukan nepotisme. Kita harus kirim orang-orang terbaik untuk mewakili Indonesia di jantung kekuatan global. Sebagai seseorang yang telah tinggal di AS selama tiga dekade dan bergaul dengan individu kelas dunia, saya yakin: mereka dapat mengenali ketidakmampuan dan retorika kosong dalam sekejap.
Mendorong transfer pengetahuan
Kebangkitan Tiongkok dalam 30 tahun terakhir bisa diringkas dalam empat kata: pengejaran dan penguasaan pengetahuan secara fanatik dari AS. Jepang dan Korea Selatan melakukan hal serupa. Kini, harus giliran Indonesia.
Amerika tetap menjadi pemimpin dunia dalam pendidikan tinggi dan riset, titik lemah kita saat ini. Jika kita serius membangun ekonomi berbasis pengetahuan, sistem pendidikan tinggi kita harus direformasi total dan diselaraskan dengan tujuan pembangunan nasional, daerah, dan lokal. Sistem kita saat ini sudah sangat usang dan jauh dari memadai untuk menjawab tantangan ekonomi global. (Ini dibahas lebih detil dalam buku saya yang akan terbit, Agenda Indonesia.)
Saya memperkirakan kita butuh setidaknya 15.000 doktor dan profesional tingkat lanjut dari kampus-kampus terbaik AS dalam sepuluh tahun ke depan untuk mendorong kemajuan nasional. Ini harus menjadi bagian dari kemitraan baru dengan AS. Keuntungannya dua arah: AS meningkatkan ekspor jasanya, kita memperkuat fondasi ekonomi masa depan. Diplomasi ekonomi saja tidak cukup. Kita memerlukan diplomasi pendidikan dan teknologi yang lebih proaktif dan cakap.
Investasi di Agroindustri
Saat kita meningkatkan impor dari AS, kita juga harus menarik investasi mereka ke Indonesia. Meski AS kini dikenal sebagai pemimpin teknologi, akar kekuatannya terletak di sektor pertanian. Teknologi berkembang subur di atas fondasi pertanian yang kuat. Soeharto memahaminya sejak 50 tahun lalu.
Strategi pembangunan kita harus memprioritaskan ekosistem agroindustri yang tangguh. Ini tidak boleh berhenti pada wacana. Harus terintegrasi dalam strategi nasional, dijalankan secara terencana, terarah, dan berfokus pada dampak jangka panjang, bukan sekadar pencitraan jangka pendek. AS bisa menjadi mitra penting dalam hal ini, menyediakan sistem, teknologi, modal investasi, dan keahlian yang dalam.
Presiden Prabowo telah menunjukkan kehati-hatian dalam menghadapi tantangan yang kompleks ini. Kritik akan selalu ada, hambatan pasti akan muncul. Namun, seperti yang dikatakan Albert Einstein, “Di tengah setiap krisis, selalu ada peluang besar.”
Dengan eksekusi yang disiplin dan penunjukan profesional berdasarkan kompetensi, bukan koneksi, momen ini bisa berubah dari nyaris krisis menjadi peluang besar. Bukan hanya untuk memajukan masa depan Indonesia, tetapi juga membuka babak baru dalam hubungan Indonesia–Amerika Serikat.