Politik: Seni Mencari Masalah

0 36

Penulis: Habib Mohsen Hasan Alhinduan

Anggota Dewan Pakar NasDem

 

Saya akan mencoba mengutip tulisan seorang jurnalis dan komedian AS yang bernama Julius Henry “Groucho” Marx 2 Oktober 1890 – 19 Agustus 1977) lahir New York City,NY AS wafat di Los Angeles (LA),California,AS pada usia 86 tahun adalah seorang komedian, aktor, penulis, dan penyanyi Amerika yang tampil dalam film dan Vaudeville ( film komedi di Perancis) di televisi, radio, dan panggung.  Ia dianggap sebagai salah satu komedian terhebat di Amerika

“Politik adalah seni mencari masalah, menemukannya dimana-mana, mendiagnosisnya dengan tidak tepat , dan menerapkan pengobatan yang salah.”

Groucho Marx ini, meski bernada satir dan jenaka, menyimpan kritik tajam terhadap wajah politik yang sering kita saksikan pada saat sekarang di negeri kita sendiri atau dunia: bukan sebagai instrumen kebaikan bersama, melainkan sebagai panggung sandiwara di mana kekuasaan, ego, dan kepentingan pribadi saling berebut sorotan. Politik, menurut dalam kacamata Marx, bukan lagi seni mengelola realitas, melainkan seni membelokkan kenyataan. Ia menggambarkan politisi bukan sebagai tabib yang menyembuhkan, tetapi sebagai dalang yang menciptakan penyakit agar dapat menjual obat palsu.

Di dalam diagnosis yang “tidak tepat” itu, terkandung ironi besar: masalah nyata seringkali dikecilkan, disalahartikan, atau bahkan diputarbalikkan agar selaras dengan narasi yang menguntungkan penguasa. Sering kali rakyat dibius dengan jargon perubahan (reformasi), padahal yang berubah hanyalah wajah para pemain, bukan sistem yang menyokong mereka.

Ketika solusi akhirnya ditawarkan, solusi itu lahir bukan dari niat memperbaiki, melainkan dari kebutuhan mempertahankan kekuasaan. Maka pengobatan yang salah pun menjadi strategi: bukan untuk menyembuhkan tubuh sosial, tetapi untuk membuatnya cukup sakit agar tetap tergantung.

Marx, dengan gaya komikalnya, sebenarnya sedang menyuarakan keresahan eksistensial: bagaimana kita hidup dalam sistem yang mempermainkan penderitaan sebagai alat dagang. Politik kehilangan keagungannya ketika ia menjauh dari nilai dan kebenaran, dan berubah menjadi ladang manipulasi. Di dunia seperti ini, filosofi bukan lagi soal kebijaksanaan, tapi tentang bertahan di tengah absurditas. Dan satu-satunya cara agar manusia tak ikut sakit adalah dengan tetap berpikir, tetap mengkritik, dan—jika perlu—tertawa getir, seperti yang dilakukan Marx.

Kasus-kasus yang terjadi di negeri kita dari level legislatif, yudikatif dan eksekutif merupakan sebagai foto-foto yang terpampang ibarat hiasan dalam ketatanegaraan semata hukum dipermainkan dan pelaksana hukum diinjak-injak pelaku hukum hanya tertawa nyinyir tanpa raut muka yang biasa-biasa saja tidak ada rasa malu melakukan kesalahan (kemaksiatan) yang brutal, kalangan legislatif dan eksekutif bersikap arogansi selalu membawa nama rakyat

Sementara itu, perilaku mereka bertentangan dengan nilai-nilai etika dan moral alias bejat moral dan bobrok etika yang berkuasa saat sekarang ini adalah  Political Will yaitu kemauan politik dari pemerintah atau para pengambil kebijakan.

Sekalipun pembela rakyat demi kebenaran dan keadilan tidak akan terwujud menghadapi konspirasi political will yang satu sama lain sudah berskongkol . Ingatlah dan sadarilah bahwa strategi dan taktik yang direncanakan pasti akan ada batas waktunya. Tidak ada yang kekal dan abadi didunia ini semuanya bersifat sementara. Oleh karena itu kita harus membuat sebuah catatan yang bertauladan dan beradap dikemudian hari generasi penerus pasti akan membacanya kasus-kasus kelam dan amoral ini.

Krisis moral dan etika pada saat ini yang dialami semua lapisan terutama kalangan legislatif, yudikatif dan eksekutif adalah krisis mental dan sebagai esensi kemanusiaan yang sejati. Persoalan ini adalah persoalan yang serius dan sebagai musibah atau bencana bagi bangsa dan negara kita ini dirasakan sebagai derita yang harus segera diobati jikalau kita ingin berlanjut hidup layaknya sebagai manusia beriman.

Kita menyadari kemampuan untuk merasakan penderitaan orang lain yang kita rasakan menunjukkan nilai kemanusiaan dalam diri kita. Seorang pemikir filsuf dunia yang  berkebangsaan Republik Islam Iran yang bercokol di Inggris Ali Syariati ingin mengajarkan kepada kita bahwa empati adalah ciri utama manusia yang mulia, karena melalui empati, kita mampu memahami, peduli, dan membantu sesama. Inilah yang membedakan manusia dari sekadar “hidup” menjadi benar-benar “manusia.”

Dia menambahkan pendapatnya, manusia memiliki dua dimensi: dimensi kebaikan dan kesucian (roh Tuhan) dan dimensi keburukan dan kehinaan (tanah lumpur). Manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya sendiri, memiliki martabat tinggi, dan kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri. Ia juga dipandang sebagai pusat kehidupan dan wakil Tuhan di bumi.

Dengan demikian, pandangan Ali Syari’ati tentang manusia mencakup aspek spiritual, moral, dan sosial. Ia menekankan pentingnya keseimbangan antara dimensi kebaikan dan keburukan dalam diri manusia, serta tanggung jawab manusia untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera.

Sedangkan politik menurut Ali Syariati adalah pemerintah/ sistem pemerintah yang mempunyai tanggung jawab memelihara agar masyarakat bisa aman dan menyediakan sarana-sarana kesejahteraan bagi warganya sebagai suatu tugas administrasi negara.

 

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.