Membangun Pemilu Bermartabat, Jujur, dan Adil
Penulis: Lalu Sudarmadi
Anggota Dewan Pakar Partai NasDem
Penggalan Manifesto Nasional Demokrat menyatakan ”Kami menolak demokrasi yang hanya menghasilkan rutinitas sirkulasi kekuasaan tanpa kehadiran pemimpin yang berkualitas dan layak diteladani”
Di tengah perjalanan panjang demokrasi Indonesia pasca-reformasi, kita menyaksikan kemajuan dalam aspek prosedural. Pemilu dilaksanakan secara reguler, partisipasi publik relatif tinggi, dan pergantian kekuasaan berjalan damai. Namun, di balik keberhasilan tersebut, demokrasi kita masih menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan demokrasi yang substansial—demokrasi yang benar-benar mewakili aspirasi rakyat, memperkuat keadilan sosial, serta menghadirkan pemimpin-pemimpin yang kompeten dan berintegritas.
Pemilu sebagai jantung demokrasi harus dikawal dengan serius, tidak boleh hanya menjadi pesta seremonial yang dikotori oleh praktik transaksional, manipulasi birokrasi, atau dominasi oligarki. Untuk itu, kita perlu membangun sistem pemilu yang bermartabat, jujur, dan adil—yang pada akhirnya mengantar Indonesia keluar dari jebakan demokrasi prosedural menuju demokrasi yang berakar pada nilai, kualitas, dan keberpihakan kepada rakyat.
Untuk itu perlu diperlukan langkah langkah sebagai berikut:
1.Reformasi internal partai politik, menata dari hulu.
Partai politik adalah pilar utama dalam demokrasi, namun selama ini sering justru menjadi sumber persoalan. Banyak partai dikuasai oleh elite kecil yang menjalankan sistem tertutup, bahkan dinasti, yang menghambat kaderisasi sehat dan regenerasi kepemimpinan.Untuk memperbaiki kualitas demokrasi, reformasi internal partai menjadi keharusan:
Transparansi manajemen partai: Anggaran, rekrutmen, hingga pengambilan keputusan harus dilakukan secara terbuka dan bisa diakses publik. Kaderisasi yang sistemik dan berjenjang: Partai harus membangun sistem penggemblengan kader dari bawah, mulai dari tingkat desa hingga pusat, dengan penguatan ideologi, kompetensi kebijakan, dan kepemimpinan.
Rekrutmen berbasis meritokrasi, bukan nepotisme: Seleksi calon legislatif dan kepala daerah harus mengedepankan kualitas personal, pengalaman, serta rekam jejak, bukan sekadar kedekatan atau kekuatan finansial. Dengan partai yang sehat dan meritokratik, pemilu akan menghadirkan calon-calon terbaik yang layak dipilih oleh rakyat.
2. Penyelenggara dan pengawas pemilu yang netral dan profesional. Kepercayaan terhadap pemilu sangat bergantung pada integritas penyelenggara (KPU), pengawas (Bawaslu), dan lembaga etik (DKPP). Sayangnya, masih banyak sorotan terhadap ketidaknetralan, konflik kepentingan, atau lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran. Langkah strategis yang harus diambil:
Pemilihan penyelenggara dan pengawas yang independen dan berbasis rekam jejak. Penegakan kode etik dan profesionalisme yang ketat. Mendorong partisipasi masyarakat sipil dalam pengawasan secara aktif, termasuk dengan memanfaatkan teknologi dan media sosial untuk deteksi dini terhadap pelanggaran.
3. Kampanye politik yang edukatif dan berbasis gagasan. Kampanye adalah momen penting bagi rakyat untuk mengenal kandidat dan membandingkan program. Namun, yang sering terjadi justru sebaliknya: kampanye penuh serangan pribadi, politik identitas, hingga banjir hoaks dan disinformasi.
Kita perlu mendorong model kampanye yang edukatif, argumentatif, dan partisipatif, dengan ciri-ciri:
Debat publik diperbanyak dan dimoderasi dengan baik, bukan hanya formalitas. Dialog langsung dengan masyarakat menjadi keharusan, bukan sekadar pemasangan baliho dan iklan. Pemanfaatan media digital untuk menjangkau generasi muda, namun tetap menjaga etika dan kebenaran informasi.
4. Penegakan aturan dan sanksi tegas bagi pelanggaran. Tanpa sanksi yang tegas, aturan pemilu hanya akan menjadi hiasan. Saat ini, masih banyak pelanggaran seperti politik uang, kampanye hitam, atau penggunaan fasilitas negara yang tidak ditindak secara konsisten.
KPU, Bawaslu, dan aparat penegak hukum harus memberikan sanksi administratif hingga pidana kepada pelanggar. Mendiskualifikasi peserta atau parpol yang terbukti melanggar secara sistemik. Membangun sistem pelaporan cepat dan responsif, termasuk melalui platform digital.
5. Digitalisasi pemilu: menuju e-election. Dalam era digital, pemilu elektronik (e-election) menjadi opsi strategis untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi. Namun, penerapannya di Indonesia memerlukan pertimbangan serius mengingat kompleksitas geografis dan sosial.
Kekuatan e-election adalah mempercepat proses penghitungan suara dan hasil pemilu, mengurangi kecurangan dalam distribusi dan pengumpulan suara serta menghemat logistik dan anggaran pemilu jangka panjang. Juga menjangkau diaspora atau pemilih luar negeri secara lebih efisien.
Sedangkan kelemahan dan tantangannya adalah ancaman keamanan siber dan manipulasi digital, ketimpangan infrastruktur digital di daerah tertinggal serta tingkat literasi digital masyarakat masih rendah, dan rendahnya kepercayaan publik terhadap sistem digitalisasi politik.
Langkah strategis menuju E-Election:
1. Audit teknologi secara independen, dengan melibatkan BSSN, ahli IT, dan organisasi internasional.
2. Uji coba bertahap, mulai dari pilkada kota besar dan diaspora.
3. Pembangunan infrastruktur internet di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar).
4. Pendidikan digital bagi masyarakat dan petugas pemilu.
5. Kerangka hukum dan regulasi keamanan digital harus diperkuat, termasuk perlindungan data pribadi.
E-Election bukanlah tujuan akhir, tapi alat untuk meningkatkan integritas dan efisiensi demokrasi. Kita harus memastikan bahwa teknologi mendukung rakyat, bukan menggantikan esensi partisipasi dan pengawasan publik.
Demokrasi bukan sekadar pemilu, tapi membangun pemilu yang bermartabat, jujur, dan adil serta pekerjaan kolektif semua elemen bangsa baik partai politik, penyelenggara, aparat hukum, media, dan terutama rakyat. Demokrasi yang sehat tidak cukup hanya dengan memilih, tetapi dengan memastikan proses pemilihan memberi ruang bagi aspirasi, integritas, dan mutu, sehingga hasilnya melahirkan pemimpin yang berkualitas.
Sudah saatnya kita meninggalkan demokrasi prosedural yang kering dan menuju demokrasi substansial yang berkeadilan dan bermakna. Demokrasi bukan soal siapa yang menang, tapi bagaimana seluruh rakyat dimuliakan dalam prosesnya.