Saatnya Kita Melakukan Restorasi di Bidang Hukum

0 21

SEMUEL MATULESSY

Penerapan hukum di Indonesia amburadul, kita semua sudah mengetahuinya. Akar persoalannya pun sudah dikenali. Sifat materialistis yang melanda hampir segenap lapisan masyarakat membuat hukum di Indonesia ditransaksikan sebegitu rupa dan semakin kasat mata. Ini tak bisa dibiarkan. NasDem sebagai partai yang mengusung restorasi bangsa terpanggil untuk mengembalikan tatanan hukum sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa. Selain menegakkan hukum tanpa pandang bulu dan tebang pilih, menghukum pelaku korupsi dengan hukuman menjadi pilihan yang patut dijalankan.

Kondisi Hukum Indonesia Amburadul

Secara teoritis hukum di Indonesia sudah bagus, namun sangat disayangkan dalam praktiknya masih amburadul. Kondisinya sangat memprihatinkan, di lapangan hukum bisa diatur sedemikian rupa, diutak-atik mengikuti kepentingan pihak tertentu. Apalagi hukum yang berhubungan dengan politik, dengan gampangnya diutak-atik mengikuti kehendak pihak yang sedang berkuasa. Apa yang diperlihatkan kepada publik terkait utak-atik batas usia untuk calon kandidat cawapres dalam pemilu merupakan contoh yang gamblang. Apalagi menyangkut penegakan hukum, terutama dalam penanganan kasus korupsi, mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga keputusan yang mulia Majelis Hakim semuanya diwarnai dengan praktik pengaturan pasal-pasal yang melibatkan transaksi dengan jumlah kompensasi rupiah yang tidak kecil. Hal yang sama tak jauh berbeda dipraktikkan dalam penanganan kasus narkoba, pasal-pasal hukum diperdagangkan sedemikian rupa. Ini kondisi yang masih saja terjadi dan sudah sangat memprihatinkan dalam penegakkan hukum untuk kepentingan bangsa dan negara serta masyarakat yang tak berdaya.

Penyebab utama dari amburadulnya penegakkan hukum kita, dewasa ini tiada lain, karena sudah terkikis habis etika dan moral bagi perangkat penegakkan hukum di Indonesia karena manusia Indonesia sangat materialistis, utamanya mereka yang sedang memegang jabatan atau kekuasaan, berlomba-lomba menimbun harta. Orang boleh saja memiliki pendidikan tinggi tetapi kalau dia tidak punya uang, maka orang itu tidak dihargai apalagi dihormati. Mereka diabaikan dalam pergaulan sosial, sekali pun ada norma-norma agama yang harusnya ditaati setiap pribadi umat beragama di Indonesia terhadap
ajaran agama masing-masing, sehingga tidak takut Tuhan sama sekali, yang penting mereka memperkaya diri dan atau kelompoknya, mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Sekalipun semua agama tegas melarang orang/siapapun mengambil sesuatu yang bukan haknya, agama manapun juga tidak membenarkan penganutnya untuk melawan hukum, namun keinginan menikmati hidup mewah, berkelas, menjadikan manusia Indonesia dengan mudah tergoda untuk memperoleh kekayaan dengan menyiasati hukum dan bahkan dengan sengaja mengutak-atiknya.

Pembenahan Birokrasi dan Penerapan Hukuman Mati

Pada bagian lain, sistem hukum kita juga masih menerapkan hukuman yang terlalu ringan bagi para pelaku korupsi. Sudah saatnya Indonesia menerapkan ‘HUKUMAN MATI’ bagi para pelaku korupsi. Hal berikutnya, hingga saat ini pihak legislatif (DPR) belum mengesahkan rancangan Undang-Undang terkait pemiskinan para koruptor. Padahal jika praktik pemiskinan diterapkan kepada para pelaku kejahatan korupsi, orang-orang akan berpikir beratus kali untuk mau melakukan korupsi. Kita tidak tahu mengapa DPR tidak memiliki kemauan yang kuat untuk mengesahkannya. Bisa jadi, karena mereka khawatir jika itu disahkan bisa membuat anggota DPR ramai-ramai mengalami pemiskinan.

Hal lain yang perlu dibenahi adalah sektor birokrasi. Utamanya posisi ASN dalam hubungannya dengan pemimpin politik, baik itu walikota/bupati, gubernur, menteri, bahkan presiden. Seperti diketahui, pegawai ASN merupakan pejabat karier yang memulai kariernya dari sejak tingkat rendah dan kemudian meniti jenjang karier dalam pelayanan publik dalam kurun waktu lama. Pada saat ini, ASN yang berada pada eselon 1,2, dan 3 karier dan posisinya ditentukan oleh presiden. Bagaimana bisa, nasib dan kariernya kemudian ditentukan oleh pejabat politik yang dipilih oleh rakyat dengan masa kerja cuma lima tahun, yang diibaratkan sebagai pegawai kontrak. Akibatnya, para ASN tidak lagi merasa sebagai pelayan rakyat, alih-alih menjadi pelayan dari pemimpin yang sedang berada di tampuk kekuasaan. Keadaan seperti ini menimbulkan praktik birokrasi yang tidak sehat, terlebih ketika terjadi pergantian kepemimpinan, dimana pemimpin baru merupakan pihak yang sebelumnya berlawanan dengan pemimpin lama, sering mengakibatkan karier ASN tertentu dapat terhenti atau malah melaju.

Restorasi sebagai Keharusan Sejarah

Restorasi di bidang hukum menjadi satu keniscayaan pada hari ini. Restorasi adalah ruh dari Partai NasDem, garis perjuangan yang merupakan sebuah proses untuk mengembalikan, memperbarui, menata kembali, dan memperbaiki kondisi negara dan bangsa yang saat ini carut marut. Dalam bidang hukum, restorasi ini dimaknai antara lain sebagai mengembalikan konstitusi kita kepada UUD 1945 dengan sejumlah pembaruan dan penataan ulang sistem hukum yang ada.

Harus diakui bahwa UUD 1945 telah mengalami sejumlah amandemen yang suka atau tidak suka harus dijalankan pada saat ini. Sebagai contoh, dalam bidang politik kita tidak lagi menganut pemilihan presiden dan wakilnya melalui sistem perwakilan. Sebagai gantinya, pemilihan dilakukan secara langsung oleh rakyat. Ini mencegah pemilihan pemimpin bangsa hanya dilakukan oleh beberapa ratus orang saja yang ada di MPR. Dalam praktiknya, partai politik lah yang menyeleksi siapa berhak tampil dan tidak dalam kontestasi pemilu. Lebih parahnya lagi, pada sejumlah partai kewenangan ini mengerucut kepada pucuk pimpinan partai. Posisi demikian membuka peluang terjadinya demokrasi transaksional yang tak kalah luar biasa parahnya. Namun bagaimanapun, menyelenggarakan pemilihan umum, utamanya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, secara langsung masih jauh lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya demokrasi yang sehat.

Restorasi dalam bidang hukum juga dilakukan dengan tidak memberi ruang kepada praktik-praktik suap, pelicin, mahar/gratifikasi, dan sejenisnya. Apa yang telah dirintis oleh Partai NasDem dengan Politik Tanpa Mahar, perlu terus digencarkan dan diperluas lagi, namun juga terlebih dahulu membersihkan kader-kader yang mencari makan di partai dengan cara memperdaya menggunakan kebijaksanaan ketua umum yang begitu tulus memberikan tanggung jawab dalam jabatan-jabatan strategis, seperti jabatan birokrasi, maupun dalam pelaksanaan program-program internal partai. Namun yang lebih fundamental dari itu ialah mendidik generasi baru untuk tidak menjadikan kepemilikan materi sebagai ukuran keberhasilan hidup. Sesuatu yang muskil namun itulah yang harus diperjuangkan kita bersama.

Leave A Reply

Your email address will not be published.