Tantangan Dewan Pakar sebagai Guru Nasionalisme dan Demokrasi Partai

0 29

Dr. SIDRATAHTA MUKHTAR

Nasionalisme dan Demokrasi merupakan platform Partai NasDem yang hari demi hari mengalami dinamika dan perkembangan. Pemikir nasionalisme seperti Mochtar Pabottingi memperingatkan bahwa “nasion” Indonesia sebagaimana diformulasi oleh para pendiri bangsa kondisinya saat ini semakin memburuk yang harus dipulihkan. Bagi Partai NasDem memulihkan kembali kondisi nasionalisme itu merupakan panggilan sejarah, yang diserukan dengan menggelorakan kembali restorasi bangsa Indonesia. Untuk itu, Partai NasDem harus mereposisi Dewan
Pakarnya bukan sebatas tempat parkir para tokoh bangsa tetapi tempat para ideolog atau guru-guru partai mentransformasi kepakarannya untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran yang bernas bagi segenap elemen partai dalam melakukan kerja-kerja restorasi di seluruh bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dari Keberagaman sampai Kondisi Demokrasi Kita

Keberagaman merupakan realitas kebangsaan kita. Indonesia memiliki 1.340 suku bangsa dan lebih dari 800 bahasa daerah. Namun begitu, beruntung nenek moyang kita mewarisi sebuah nilai yang menjadikan kita mewujud sebagai satu komunitas yang dibayangkan sebagai satu kesatuan: Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi satu jua). Konon, nilai ini telah dikembangkan
sekira abad ke-14 ketika di wilayah nusantara yang telah dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu kemudian mendapat pengaruh dari ajaran Budha. Seorang pujangga dari Kerajaan Majapahit bernama Tantular memformulasikan titik temu agama-agama yang berbeda itu dalam sebuah pernyataan yang hakikatnya menegaskan bahwa keanekaragaman ini justru membuat mereka
saling menguatkan dan bersatu. Formulasi itu ditulisnya dalam sebuah naskah kropak daun lontar yang dikenal dengan nama Kakawin Sutasoma. Para pendiri bangsa Indonesia kemudian mengangkat nilai tersebut menjadi moto kebangsaan nusantara modern yang dimuat dalam konstitusi negara Republik Indonesia.

Saat ini keberagaman tersebut tengah mengalami krisis. Salah satu indikasinya orang-orang tidak lagi bangga atau hormat dengan perbedaan yang terjadi dalam pilihan beragama maupun berpolitik. Ini terjadi dikarenakan berkembangnya radikalisasi dalam beragama maupun berpolitik. Mereka yang mengalami radikalisasi mendapati perbedaan bukan lagi sebagai rahmat Tuhan
melainkan sebagai sebuah aib. Indikasi lainnya, ideologi tidak lagi hidup dalam diri dari warga bangsa. Pada bangsa Amerika misalnya liberalisme dengan nilai-nilai individualistisnya tetap subur dalam kehidupan masa kini, sementara Pancasila di Indonesia menghadapi masalah dalam penerapannya. Memang ada pernyataan di tengah kehidupan kita seperti: “Saya Pancasila-Saya NKRI”
tetapi itu hanya sebuah oposisi biner yang dikembangkan karena pemihakan politik tertentu.

Oposisi biner merupakan pembedaan terhadap objek, sesuatu atau peristiwa tertentu yang diposisikan secara hierarkis. Artinya pembedaan yang diberikan tersebut tidak setara – mengunggulkan suatu hal, objek, atau peristiwa, dan secara bersamaan merendahkan hal, objek, atau peristiwa lainnya. Yang paling menonjol ialah kegotongroyongan mulai memudar dalam
kehidupan sehari-hari kita, rasa senasib dan sepenanggungan mulai hilang, sementara nilai-nilai feodalisme, etnosentrisme justru mulai muncul lagi, dan gaya-gaya hidup yang berbau materialisme menjadi marak.

Harus diakui keberagaman adalah sebuah fakta realitas dari Indonesia dan dunia mengakui bahwa Pancasila itulah yang menyelamatkan Indonesia dari perpecahan yang disebabkan karena keberagaman itu. Padahal di Timur Tengah, tiga suku bangsa dengan agama yang berbeda hingga kini masih belum juga berdamai apalagi menyatu dalam sebuah kehidupan bernegara.
Tak bisa dibayangkan jika tak memiliki Pancasila, Indonesia bisa mengalami apa yang terjadi di Yugoslavia atau Uni Soviet. Kita tahu Pancasila menawarkan lima aliran kehidupan bernegara sekaligus yakni Teokrasi sebagaimana tersirat dalam sila pertama, Humanisme sosialisme dalam sila kedua, Nasionalisme dari sila ketiga, dan demokrasi kerakyatan pada sila keempat, dan libertarian pada sila kelima.

Memang, dalam pelaksanaanya tidaklah mudah, namun menawarkan lima aliran kehidupan bernegara sekaligus merupakan pengakuan keberagaman yang egaliter, yang membuat bangsa Indonesia kokoh tak mudah pecah. Mengutip pendapat Mochtar Pabottingi, peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (kini tergabung dalam BRIN) dalam bukunya
Nasionalis dan Egalitarianisme di Indonesia, 1908-1980 (2023) bahwa praktik egalitarianisme yang terkandung dalam Pancasila membuat Indonesia menjadi sebuah Nation yang kuat. Sayangnya, sebagaimana diamati dan dikemukakan oleh Mochtar Pabottingi, impian mewujudkan Nation dengan egalitarianisme itu menyurut dan bahkan memburuk.

Ia yang antimiliterisme dan pendukung garis keras Jokowi pada mulanya menyebut bahwa Nawacita yang dipromosikan Jokowi sesuatu yang “feasible, up to date, and convincing restatement of the bulk of Pancasila ideals” kemudian berbalik keyakinan bahwa “Tapi sungguh sangat menyakitkan bahwa wacana (Nawacita) ini segera tersimak sebagai tak lebih dari manipulasi kerinduan.” Terlebih lagi ketika Pemerintahan Jokowi melakukan revisi atas empat produk legislasi yakni UU ITE, UU KPK, UU Minerba, dan memunculkan UU Cipta Kerja, yang membuat pemerintahan ini “miskin legitimasi dan mencekik reformasi.” Mimpi meremajakan cita-cita bangsa menjadi gagal dan situasinya semakin memburuk.

Dewan Pakar sebagai Ideolog/Guru Partai

Nasionalisme kita saat ini juga menghadapi tantangan yang tidak kalah seriusnya. Pada satu sisi, nasionalisme menghadapi tantangan dari akar masa lalunya dimana keindonesiaan sesungguhnya terbentuk dari komunitas atau entitas kekuasaan yang telah hidup dan berkembang bahkan beratustahun sebelumnya. Jika merujuk kepada eksistensi kerajaan-kerajaan yang
ada sebelum Indonesia merdeka jumlahnya bisa mencapai ratusan kerajaan dengan berbagai skalanya. Nasionalisme bisa pecah jika persoalan dengan akar masa lalu tidak diselesaikan dengan tepat. Pada sisi lain, nasionalisme juga menghadapi tantangan nilai-nilai dari luar Indonesia seperti nilai-nilai Asia maupun Barat yang muncul sebagai pengaruh globalisasi.

Sebagai contoh, diterapkannya Undang-undang RI No.23 Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah yang dimaksudkan sebagai usaha untuk mengurangi ketimpangan ekonomi dengan mendistribusikan kewenangan pembangunan ke daerah-daerah, ternyata menimbulkan implikasi lain yakni hadirnya rajaraja “baru” atau membangkitkan “raja-raja lama” yang terpilih karena kehendak masyarakat untuk mengedepankan putra daerah. Padahal, Undang-Undang Pemilu kita tidak melarang siapa pun dari suku mana pun untuk bertarung dalam pemilihan kepala daerah di suatu wilayah. Namun kenyataannya, di sejumlah daerah seperti Papua mensyaratkan mereka yang ikut kandidasi haruslah putra daerah setempat. Dengan kata lain, Otonomi Daerah telah
melemahkan proses integrasi yang tengah diusung oleh nasionalisme.

Menguatnya sifat kedaerahan yang berlebihan yang dibangkitkan oleh otonomi daerah menjadi tantangan serius bagi nasionalisme Indonesia. Dalam kerangka ini, maka saya mengusulkan agar perlu dikembangkan sebuah paradigma baru tentang ketahanan nasional yang dikaitkan dengan implikasi diterapkannya otonomi daerah.

Partai NasDem yang mengusung nasionalisme memiliki tanggung jawab besar dalam menyusun paradigma baru ketahanan nasional sebagaimana dimaksud. Untuk itu saya melihat perlunya Partai Dewan Pakar melakukan reposisi Dewan Pakar sebagai Guru Partai yang pemikirannya diperhatikan dan diikuti oleh segenap elemen partai. Dewan Pakar tidak lagi diposisikan sebagai
tempat bagi para pensiunan atau mereka-mereka yang “diparkir”. Dalam konsep lama kepartaian, mereka adalah ideolog yang keberadaannya menjadi ruh dan representasi karakter dari partai. Demikian pula dengan Dewan Pakar Partai NasDem saat ini, kepakarannya dalam berbagai hal tertransformasi dalam bentuk pemikiran-pemikiran yang memperkuat nasionalisme baru
Indonesia.***

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.