Perlindungan Hukum Konsumen E-Commerce di Indonesia Lemah
Penulis: Silverius Y. Soeharso
Wakil Sekretaris Dewan Pakar Partai NasDem
E-commerce atau perdagangan elektronik di Indonesia semakin membuat ketergantungan masyarakat semakin tinggi dan tak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia terutama sejak lima tahun terakhir. Seiring dengan kemajuan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi telah mendorong perkembangan platform belanja online, yang memberikan kemudahan bagi konsumen untuk membeli barang dan jasa tanpa perlu bertatap muka langsung dengan penjual.
Namun demikian, dengan melonjaknya volume transaksi dan jumlah pengguna, muncul sejumlah persoalan hukum yang perlu diperhatikan dengan serius. Banyak konsumen yang merasa dirugikan dalam transaksi daring, baik terkait kualitas produk yang tidak sesuai dengan deskripsi iklan, leadtime pengiriman yang tidak pasti, maupun kasus penipuan yang melibatkan platform e-commerce.
Menurut laporan Google-Temasek tahun 2023, sektor e-commerce Indonesia diperkirakan akan mencapai lebih dari USD83 miliar atau setara Rp. 1,343 triliun (kurs 15,800/USD) pada tahun 2025 ini. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu pasar e-commerce terbesar di Asia Tenggara. Dalam lima tahun terakhir keterlibatan konsumen Indonesia dalam transaksi online semakin meningkat, terutama di kalangan generasi muda yang terbiasa dengan teknologi digital.
Data BPS[1] menunjukkan bahwa pada tahun 2023, lebih dari 180 juta orang Indonesia telah mengakses internet, dengan sebagian besar menggunakannya untuk berbelanja secara online. Hal ini menunjukkan bahwa e-commerce bukan hanya fenomena sementara, tetapi telah menjadi salah satu pilar utama perekonomian digital di Indonesia tren belanja masyarakat Indonesia ke depan.
Namun, seiring dengan meningkatnya volume transaksi dan semakin banyaknya pengguna, muncul berbagai masalah hukum yang perlu mendapatkan perhatian serius. Banyak konsumen yang merasa dirugikan oleh transaksi online, baik dari sisi produk yang tidak sesuai dengan deskripsi, hingga kasus penipuan yang melibatkan platform e-commerce. Dengan semakin pesatnya perkembangan e-commerce di Indonesia, perlindungan hukum konsumen menjadi semakin penting untuk memastikan hak-hak konsumen terlindungi dalam transaksi online.
Meskipun telah ada regulasi yang cukup guna perlindungan konsumen, banyak celah hukum yang belum sepenuhnya dapat mengatasi tantangan-tantangan yang muncul dalam dunia transaksi elektronik saat ini dan ke depan. Paling tidak di Indonesia, terdapat 3 (tiga) regulasi/per-Undang-Undang-an pokok yang mengatur perlindungan konsumen dalam e-commerce yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), serta peraturan turunan berupa Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP PMSE).
Meskipun ketiga undang-undang di atas memberikan kerangka landasan hukum yang fundamental, namun masih terdapat celah hukum dalam implementasi dan penegakkannya yang tentu dapat merugikan konsumen.
Perlindungan konsumen dalam transaksi elektronik masih menemui berbagai tantangan, terutama dalam hal transparansi informasi dan hak-hak konsumen. Penelitian ini mengungkapkan bahwa banyak pelaku usaha di platform online shop yang tidak sepenuhnya mematuhi kewajiban untuk memberikan informasi yang jelas dan lengkap tentang produk atau layanan yang mereka tawarkan, yang berpotensi menyesatkan konsumen dan merugikan mereka (Sutrisno, 2020). Hal serupa juga ditemukan oleh Lestari dan Puspitasari (2021), yang menyebutkan bahwa meskipun ada regulasi yang mengatur kewajiban pelaku usaha untuk melindungi konsumen, penerapannya dalam praktik seringkali tidak efektif.
Selanjutnya, penegakan hukum terhadap pelaku usaha dalam platform e-commerce juga merupakan tantangan besar. Sari (2019) dalam penelitiannya menyoroti bahwa UU ITE memiliki kelemahan dalam hal penegakkan hukum terhadap penipuan online dan pelanggaran hak konsumen.
Meski UU ITE memberikan dasar hukum yang cukup kuat, pelaksanaan hukum dalam dunia digital sering kali terhambat oleh masalah yuridiksi dan pembuktian yang kompleks. Selain itu, Wicaksono (2022) juga menegaskan bahwa banyak kasus penipuan elektronik di platform e-commerce yang tidak ditindaklanjuti dengan serius, baik oleh apparat penegak hukum maupun oleh pihak penyedia platform itu sendiri, yang berakibat pada hilangnya kepercayaan konsumen.
Dalam konteks perlindungan data pribadi, keberadaan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU No. 27 Tahun 2023) semestinya memberikan harapan baru untuk memperkuat regulasi terkait dengan keamanan data konsumen. Namun, pada praktiknya, Dewi dan Ramadhani (2023) menunjukkan bahwa implementasi UU ini masih menemui berbagai kendala, termasuk kurangnya pemahaman di kalangan konsumen dan pelaku usaha tentang hak-hak mereka serta penegakan hukum yang belum optimal.
Lemahnya pengawasan dari OJK dan Kominfo terhadap “kenakalan” penyelenggara platform digital dan kecepatan respons penyelesaian sengketa dalam transkasi platform online juga seringkali tidak tuntas. Dalam hal ini, mendesak perlu adanya peraturan pelaksana yang lebih spesifik mengenai penyelesaian sengketa dalam transaksi e-commerce serta pentingnya peran Regulator dan Ombudsman dalam memastikan bahwa hak-hak konsumen terlindungi secara lebih komprehensif dan tepat sararan.
Penegakan hukum lemah
Perlindungan konsumen merupakan aspek fundamental dalam sistem hukum modern, termasuk di Indonesia. Konsumen, sebagai pihak yang sering kali berada pada posisi lemah dalam transaksi dengan pelaku usaha, memerlukan perlindungan yang tidak hanya bersifat normatif tetapi juga fungsional. Dalam konteks ini, teori hukum menjadi landasan penting untuk menganalisis dan mengembangkan kerangka hukum perlindungan konsumen. Teori hukum dalam perlindungan konsumen di Indonesia berfokus pada analisis teori positivisme hukum, teori hukum responsif, dan teori keadilan.
- Hukum Positif dan Penerapan Perlidungan Konsumen
Teori positivisme hukum menempatkan hukum sebagai sistem aturan yang bersumber dari otoritas formal negara. Teori ini dipelopori oleh pemikir seperti John Austin, yang berpendapat bahwa hukum adalah “perintah” dari otoritas yang berdaulat. Dalam positivisme hukum, aturan harus ditaati bukan karena moralitasnya, melainkan karena keberadaannya sebagai hukum yang sah. Dalam konteks perlindungan konsumen, teori ini mendukung pentingnya peraturan yang tegas, tertulis, dan dibuat oleh lembaga yang berwenang untuk memberikan kepastian hukum. Konsumen dan pelaku usaha dapat merujuk langsung pada norma hukum yang mengatur hak, kewajiban, dan sanksi terkait kegiatan transaksi. Positivisme hukum menekankan pada tiga elemen utama:
- Keberadaan hukum tertulis yang jelas: Konsumen dilindungi oleh undang-undang yang memberikan pedoman atas hak-hak mereka.
- Penegakan hukum melalui institusi formal: Lembaga seperti BPSK, pengadilan, dan aparat penegak hukum bertugas memastikan pelaksanaan hukum perlindungan konsumen.
- Kepastian hukum bagi semua pihak: Baik konsumen maupun pelaku usaha mengetahui batasan-batasan hukum yang berlaku.
Untuk menjalankan ketiga elemen itu berjalan efektif maka literasi digital dan hukum serta integritas aparat penegak hukum wajib berpedoman pada hukum positif yang berlaku. Teori positivisme hukum memberikan landasan kuat untuk membangun sistem perlindungan konsumen yang terstruktur dan dapat ditegakkan.
Melalui implementasi peraturan per-Undang-undang-an yang tegas, konsumen memiliki kepastian hukum untuk melindungi hak-haknya. Namun, kekakuan pendekatan ini menuntut integrasi dengan teori hukum lain, seperti teori hukum responsif, agar perlindungan konsumen dapat menjawab kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Positivisme hukum tetap menjadi pilar penting dalam perlindungan konsumen, terutama dalam memberikan kepastian hukum dan menegakkan keadilan melalui aturan yang jelas dan sanksi yang tegas.
Penerapan Hukum Perlindungan Konsumen Yang Belum Efektif
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)
a Hak Konsumen : UUPK menetapkan secara tegas hak-hak konsumen, seperti hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam menggunakan barang/jasa, diatur dalam Pasal 4 UUPK.
b Kewajiban Pelaku Usaha : Pelaku usaha diwajibkan memberikan informasi yang benar dan tidak menyesatkan terkait produk, diatur dalam Pasal 8 UUPK.
c Sanksi : Pasal 62 UUPK mengatur sanksi pidana bagi pelaku usaha yang melanggar hak konsumen, seperti hukuman penjara maksimal 5 tahun atau denda hingga Rp 2 miliar.
d Mekanisme Penyelesaian Sengketa : UUPK mengatur penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau di luar pengadilan, diatur dalam Pasal 45 UUPK. Lembaga seperti Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dibentuk untuk memberikan solusi cepat dan murah.
Contoh Kasus:
- Kasus Produk Kesehatan Palsu (2016): Badan POM menemukan peredaran obat palsu yang merugikan konsumen. Berdasarkan UUPK, produsen dan distributor dikenai sanksi pidana.
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
a Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Elektronik : Pasal 28 UU ITE melarang penyebaran informasi palsu atau menyesatkan dalam transaksi elektronik, termasuk e-commerce.
b Penyalahgunaan Data Pribadi : Pasal 26 UU ITE memberikan perlindungan terhadap data pribadi konsumen, mewajibkan pelaku usaha memperoleh persetujuan sebelum menggunakan data tersebut.
c Sanksi : UU ITE mengatur hukuman pidana hingga 6 tahun penjara atau denda maksimal Rp 1 miliar untuk pelanggaran yang merugikan konsumen secara elektronik.
Contoh Kasus:
- Kasus Penipuan E-Commerce (2021): Konsumen membeli barang secara daring, tetapi barang tidak dikirimkan. Pelaku dihukum berdasarkan Pasal 28 UU ITE karena menyebarkan informasi palsu.
- Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP PMSE)
a Kewajiban Platform E-Commerce : Platform seperti Tokopedia dan Shopee diwajibkan menyediakan informasi produk yang jelas dan mekanisme pengaduan konsumen, diatur pada Pasal 60 PP PMSE.
b Rekening Bersama (Escrow Account) : Pasal 65 PP PMSE mewajibkan platform menggunakan sistem rekening bersama untuk melindungi dana konsumen hingga barang diterima.
c Sanksi Administratif : Pelanggaran terhadap kewajiban ini dapat dikenai sanksi administratif, seperti pencabutan izin usaha.
Contoh Kasus:
- Kasus Barang Tidak Sesuai (2022): Konsumen menerima barang palsu dari platform daring. Berdasarkan PP PMSE, platform bertanggung jawab memfasilitasi pengembalian dana.
Kelebihan Teori Positivisme Hukum dalam Perlindungan Konsumen
- Kepastian Hukum : Konsumen dan pelaku usaha memiliki panduan yang jelas mengenai hak dan kewajiban mereka.
- Imparsialitas: Hukum diterapkan secara objektif tanpa mempertimbangkan faktor eksternal, seperti tekanan sosial atau kepentingan kelompok tertentu.
- Penegakan Hukum yang Efektif : Adanya sanksi tegas, baik pidana maupun administratif, memberikan efek jera bagi pelaku usaha yang melanggar.
Hukum responsif dalam perlindungan konsumen di Indonesia diterapkan melalui lembaga dan regulasi yang mengutamakan kemudahan akses, adaptasi terhadap kebutuhan masyarakat, dan solusi yang cepat dan murah. Mekanisme seperti BPSK, PP PMSE, dan peran OJK mencerminkan keberhasilan pendekatan ini dalam melindungi konsumen dari berbagai tantangan, termasuk dalam perdagangan daring dan sektor jasa keuangan.
Penerapan teori keadilan dalam perlindungan konsumen di Indonesia berfokus pada pemberian hak yang setara dan adil bagi semua konsumen, dengan memperhatikan kebutuhan khusus bagi mereka yang rentan. Melalui peraturan-peraturan seperti UU Perlindungan Konsumen, UU Perlindungan Data Pribadi, serta mekanisme penyelesaian sengketa melalui BPSK dan OJK, Indonesia berusaha untuk memastikan perlindungan yang adil dan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Namun, agar prinsip keadilan ini dapat diterapkan secara maksimal, diperlukan peningkatan literasi konsumen, penegakan hukum yang lebih konsisten, serta perluasan akses ke lembaga perlindungan konsumen di seluruh wilayah Indonesia.
[1] Laporan BPS Survey E-Commerce, 2023. Data pengguna e-commerce di Indonesia, pada tahun 2023 mencapai 180,6 juta pengguna dan diprediksi meningkat hingga 189,6 juta pengguna pada 2024. Sejak 2017, sudah ada 70,8 juta pengguna e-commerce dan jumlahnya tiap tahun meningkat. Pada 2018, mencapai 87,5 juta pengguna e-commerce di Indonesia. Sementara pada 2020, mencapai 129,9 juta pengguna e-commerce. Pada 2021, diprediksi mencapai 148,9 juta pengguna, sedangkan pada 2022 mencapai 166,1 juta pengguna.