Penghapusan Presidential Threshold dan Dampak pada Kehidupan Politik dan Pemerintahan

0 1,081

Penulis: Muchtar Luthfi Mutty

Anggota Dewan Pakar Partai NasDem

 

MK akhirnya  mengabulkan permohonan penghapusan presidential threshold setelah sebelumnya menolak sebanyak 44 kali. Lewat putusan No.62/PUU-XXI/2023, MK menyatakan bahwa Pasal 222 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20% suara sah nasional atau 25% kursi parlemen  dinyatakan tidak berlaku.

Berbagai tanggapan muncul. Ada yang menyambut gembira, namun tidak sedikit yang merasa khawatir. Pakar Hukum Tata Negara Prof. Mahfud MD menilai putusan itu merupakan langkah berani MK menjadi  judicial activism sesuai aspirasi rakyat. “Ini bagus karena MK telah menjadi  judicial activism untuk membangun keseimbangan baru dalam ketatanegaraan kita”, katanya.

Sejalan dengan itu, Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi) menilai putusan ini merupakan langkah bersejarah dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Ambang batas pencalonan presiden selama ini mencederai hak politik warga negara. Sebab skema 20% pemilu hanya menyediakan pilihan atau calon terbatas yang membuat polarisasi di masyarakat semakin mendalam.

Di  lingkungan partai politik muncul pendapat yang tidak senada. PAN menyambut baik putusan MK itu. Melalui Wakil Ketua Umumnya Saleh Daulay mengatakan penerapan ambang batas 20% selama ini tidak adil. Karena membuat hak konstitusional warga negara dikebiri. PKS dan Partai Demokrat sepakat dengan PAN

Lain halnya dengan NasDem. Sekjen Partai NasDem  Hermawi Taslim, menyatakan NasDem keberatan atas putusan MK dimaksud. ”Presidential threshold diperlukan sebagai bagian aturan permainan sekaligus seleksi awal untuk mencari pemimpin yang kredibel. Threshold merupakan aturan main yang biasa, lumrah dan berlaku universal,” ujar Taslim (Kamis, 2/1) di Jakarta.

Dalam pandangannya, putusan MK yang menghapus ambang batas syarat pencalonan 20% itu kurang memerhatikan berbagai konsekwensi yang akan membawa kerumitan dalam praktiknya kelak. Namun demikian, pada akhirnya Partai NasDem menyatakan mendukung putusan itu seperti disampaikan Sekjen  (Jum’at 3/1).

Senada dengan NasDem, Partai Golkar menilai presidential threshold dibutuhkan agar sistem presidensial berjalan efektif. Gerindra dan PDIP tidak secara tegas menyatakan menolak atau mendukung, tetapi menghormati putusan MK dimaksud.

 

Perlu reformasi internal

Penghapusan presidential threshold memberi peluang pada parpol peserta pemilu untuk mengusung paslon presiden-wakil presiden. Hal ini merupakan  tantangan bagi parpol. Jika selama ini parpol hanya berfungsi sebagai “makelar” bagi mereka yang akan ikut dalam kontestasi pilpres dan pilkada, ke depan harus menyiapkan kadernya sendiri untuk terjun dalam kontestasi. Dalam kaitan itu parpol harus dengan sungguh-sungguh melakukan fungsi hakikinya.

Pertama, Pendidikan politik dan kaderisasi. Melalui pendidikan politik, parpol akan memasyarakatkan idiologi dan platform  perjuangannya kepada masyarakat. Mereka yang telah mengikuti pendidikan politik dimaksud akan terus dipelihara untuk selanjutnya dibentuk dan diarahkan serta dipersiapkan menjadi kader partai dalam rangka mendukung fungsi-fungsi partai lainnya.

Kedua, Agregasi dan artikulasi kepentingan. Melalui fungsi ini mereka yang telah dididik dan dibentuk menjadi kader akan membuat parpol melaksanakan fungsi menjadi sarana komunikasi politik. Para kader diharapkan menjadi pilar utama struktur partai. Melalui struktur yang ada, berbagai kepentingan masyarakat dapat diagregasikan menjadi usulan kebijakan untuk  diartikulasikan oleh fraksi dan selanjutnya diperjuangkan di parlemen pada semua tingkatan untuk menjadi kebijakan publik.

Dengan demikian maka struktur partai dari pusat hingga ke tingkat paling rendah secara terus menerus melakukan aktivitas terkait dengan isu-isu yang berkembang di tengah masyarakat. Seperti isu kelangkaan pupuk, PPH12%, tabung gas 3 kg, dll. Semua itu harus menjadi bahan disikusi di struktur partai. Artinya, sekretariat tidak melulu  berbicara tentang suksesi dan kontestasi politik.

Ketiga, Rekrutmen politik. Dalam menghadapi kontestasi politik, parpol akan merekrut kader internal yang dari awal memang telah disiapkan. Maka praktik “mengaderkan tokoh” menjadi cerita masa lalu. Berganti menjadi “menokohkan kader”.

Fungsi-fungsi yang diuraikan di atas akan berjalan baik jika parpol telah sungguh-sungguh terlembagakan. Oleh Huntington, terlembaganya sebuah partai terlihat dari sejauh mana prosedur menjadi nilai dalam proses organisasi. Jadi, jika terjadi konflik dalam organisasi,  penyelesaiannya harus berdasarkan aturan yang telah disepakati seperti yang tercantum dalam AD/ART. Hal paling krusial dari kepartaian kita saat ini adalah belum terlembagakannya proses dan prosedur yang demikian di sebagian besar partai, peran ketua umum lebih dominan jika dibandingkan dengan kedaulatan anggota.

 

Implikasinya terhadap Parliamentary Threshold

Pasca-refomasi Indonesia menerapkan sistem presidential dengan kombinasi multy party system. Jumlah partai yang besar di parlemen seringkali membuat kehidupan politik dan jalannya pemerintahan tidak stabil. Hal demikian secara empiris terjadi di negara-negara Amerika Latin. Karena itu maka diperlukan mekanisme demokratis sebagai  upaya membatasi jumlah partai di parlemen melalui ambang batas parlemen  (parlementiary threshold).

UU No.17 Tahun 2017 tentang Pemilu menetapkan parliamentary threshold adalah 4%  dari total suara nasional atau 25% total suara sah di suatu provinsi. Ambang batas parlemen ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya fragmentasi politik yang berlebihan di parlemen sehingga dapat mendukung terciptanya stabilitas politik dan pemerintahan. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul yang dijamin konstitusi tetap dihormati. Warga negara dijamin kebebasannya mendirikan partai politik dengan persyaratan yang mudah. Tetapi syarat untuk ikut pemilu diperketat. Lalu syarat lolos ke parlemen lebih diperketat lagi.

Dengan jumlah partai yang terbatas di parlemen maka proses politik dalam rangka perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan tidak bertele-tele. Meskipun keputusan MK yang menghapus presidential threshold tidak sertamerta menghapus parliamentary threshold, tetapi tidak tertutup kemungkinan munculnya tuntutan penghapusan parliamentary threshold.

Menyikapi hal itu maka perlu dipahami bahwa pemilu seyogyanya tidak semata dilihat sebagai sarana kontestasi untuk penyaluran aspirasi. Lebih dari itu, pemilu hakekatnya adalah alat integrasi bangsa. Dalam konteks inilah sesungguhnya threshold itu diperlukan.

 

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.