Menjawab Tarif Trump

0 21

Elwin Tobing

Anggota Dewan Pakar

 

Dalam artikel ketiga saya soal tarif AS, “Trump’s Tariff: The Real Questions”, saya menulis: “Awalnya, saya berharap tarif balasan diterapkan bertahap. Mulai lima mitra utama, lalu diperluas setelah 2–4 bulan. Tapi Donald Trump memilih menerapkannya hampir serentak ke 50 negara. Mungkin demi rasa keadilan.”

Sekarang, Trump melakukan persis seperti itu. Tarif diterapkan secara bertahap, dengan penundaan tiga bulan untuk lebih dari 50 negara. (Lain kali, mungkin tim Trump minta saran saya. LOL.)

Seperti saya duga sejak awal, target utama tarif Trump jelas: China, Meksiko, dan Kanada. Tujuan utama: mengembalikan industri manufaktur ke AS. Untuk memahami kebijakan Trump, kita harus memahami Amerika. Kalau pengalaman melihat Amerika hanya sebatas kuliah beberapa tahun, atau kunjungan singkat, itu hanya melihat permukaan. Itupun mungkin belum. Jadi, luput memahami masalah struktural yang dihadapi kelas menengah Amerika.

Tiga dekade saya tinggal di berbagai wilayah AS dan mempelajari dinamika ekonomi politik secara dekat memberikan perspektif lebih utuh. Lima tahun di wilayah Timur, tempat Amerika lahir dan berkembang. Tujuh tahun di Midwest, jantung ekspansi industri dan pertanian Amerika. Dan 18 tahun terakhir di Wilayah Barat, kawasan teknologi dan hiburan dunia.

Melihatnya dari berbagai aspek, Amerika kehilangan Main Street atau kelas menengahnya. Wall Street, korporasi hedge fund, dan perusahaan teknologi mendominasi dan fokus pada memburu laba, dengan loyalitas hanya pada pemegang saham. Pekerja industri manufaktur, yang membangun Amerika dari awal, terkesampingkan.

Memahami Amerika artinya memahami Wilayah Midwest dan kawasan Rust Belt, negara bagian yang sebelumnya padat industri manufaktur. Di sanalah pertanian dan manufaktur membentuk kelas menengah. Dan tidak ada cerita yang lebih menggambarkan ini selain John Deere.

Selama puluhan tahun, John Deere memproduksi mesin pertaniannya di Midwest, terutama Illinois dan Iowa. Saya tinggal enam tahun di Iowa. Di sana, John Deere sudah seperti agama ketiga, setelah gereja dan keluarga. Namun, demi buruh murah, John Deere memilih pindah ke Meksiko.

Tahun lalu, mereka umumkan pemindahan 1.000 pekerjaan ke Meksiko. Trump langsung merespons, mengancam tarif 200% untuk mesin yang dimanufaktur di Meksiko. Meksiko memang pasar terbesar kedua bagi John Deere di Amerika Latin, dengan permintaan naik 76% sejak 2022. Tapi tetap kecil, hanya 4 ribu unit setahun, dibandingkan US$1.00 ribu unit.

Keuangan John Deere juga bicara lain. Paruh pertama 2024, mereka mencetak pendapatan US$27,4 miliar dan laba bersih US$4,1 miliar. Tetapi, mereka tetap memilih pindah ke luar negeri demi biaya lebih murah.

Sebelum John Deere, ratusan perusahaan AS sudah lebih dulu melakukan hal yang sama, mengejar buruh murah dan keuntungan lebih tinggi. Antara 2.000 dan 2010 saja, AS kehilangan hampir enam juta pekerjaan manufaktur, sepertiga dari total tenaga kerja sektor ini.

Industri manufaktur bukan sekadar soal ekonomi. Ini soal keamanan nasional, kelangsungan hidup, dan harga diri. Sektor jasa kompleks. Dari kurir hingga ahli bedah, dari pelayan restoran hingga bintang Hollywood. Tapi upah rata-rata pekerja jasa lebih rendah jika dibanding dengan pekerja manufaktur. Globalisasi dengan praktik dagang tidak fair memperlebar jurang ini. Kelas menengah, yang seharusnya 60% dari penduduk, secara keseluruhan relatif kurang diuntungkan.

Lalu, bagaimana Amerika harus merespons? Ekonom Thomas Piketty menulis buku terkenal tentang “Inequality”. Tapi Trump tak hanya melihat masalahnya. Dia punya solusi dan bertindak. Di periode pertama, Trump menawarkan insentif, potongan pajak untuk perusahaan yang memulangkan pabrik ke AS. Tapi insentifnya mungkin kurang manis. Kini ia pakai tongkat: tarif.

Saya mendengarnya langsung dari Trump, hanya dua puluh meter jaraknya ketika bicara hal ini. Is mengatakan tarif akan membangun kembali industri manufaktur AS. Dalam kampanyenya, Trump menyebut “tarif” sebagai kata paling indah dalam kamus. Awalnya saya ragu. Tapi Trump pemimpin yang memegang kata-katanya. Dan serius memecahkan persoalan bangsanya.

 

Merespons, bukan bereaksi

Pengamat dadakan bermunculan seperti jamur di musim hujan. Mereka gemar bereaksi. Hampir semuanya. Sayangnya, mereka luput dari inti masalah. Tiba-tiba semua seperti ekonom, termasuk yang tidak pernah memperlajarinya. Yang sedikit belajar ekonomi sembunyi di balik teori. Lupa, teori dibangun di atas asumsi. Kalau asumsi dilanggar, teori jadi rapuh. Bahkan bisa tak relevan.

Teori bahwa perdagangan bebas menguntungkan semua pihak, itu tergantung beberapa asumsi. Tiga diantaranya: Pertama, perdagangan seimbang dimana ekspor akan menutup impor seiring waktu. Realitasnya, banyak negara terus defisit, berujung pada ketergantungan. Itu yang dialami AS.

Kedua, tanpa hambatan atau subsidi. Realitanya, hampir semua negara melindungi industrinya dengan subsidi dan tarif.

Ketiga, distribusi keuntungan merata. Realitasnya, keuntungan menumpuk di pemilik modal dan pekerja ahli. Yang lain tertinggal. Di AS, itu pekerja industri manufaktur.

Ironisnya, bagi yang membenci Trump dan kebijakannya, tarif ini justru terapi kejut yang kita butuhkan. Ini alarm keras melawan kenyamanan palsu, mediokritas, dan korupsi yang selama ini menguntungkan elit, tapi memiskinkan rakyat.

Menggunakan analogi Adam Smith soal perilaku konsumen dan produsen, negara harus bertindak demi kepentingannya sendiri. Trump melakukan itu. Sadar atau tidak, kebijakannya tersebut justru dapat menghasilkan kebijakan optimal untuk negara lain, termasuk Indonesia. Ini keseimbangan dalam teori permainan, yang sudah dibuktikan John Nash.

Ini saatnya kita jujur pada diri sendiri. Duduk tenang dengan data di hadapan kita. Bukan rapat tanpa akhir. Bukan laporan penuh grafik AI yang penyusunnya saja tak paham, sementara pembacanya pura-pura terkesima.

Satu gambar bisa bernilai seribu kata. Bahkan, kadang satu atau dua grafik cukup untuk menjelaskan masalah dan solusi dengan tajam. Kita gagal membangun industri manufaktur sebagai landasan pembangunan (lihat grafik). Yang terjadi deindustrialisasi.

Trump mau membawa kembali industri manufaktur mereka. Apakah itu berhasil, minimal ada kebijakan jelas. Apa yang mau kita lakukan untuk membangun industri manufaktur nasional?

Sekarang waktunya refleksi. Waktunya pikirkan solusi nyata untuk masa depan ekonomi Indonesia, terutama dalam mendorong ekonomi dan perdagangan kita.

Kita harus merespons. Bukan bereaksi. Jangan semua seperti ahli yang bangun di siang bolong.

Respond vs. React

Respons itu dipikirkan. Reaksi itu spontan. Respons datang setelah berpikir. Reaksi, langsung terjadi. Respons menyentuh akar masalah. Reaksi hanya permukaan. Respons mempertimbangkan dampak ke depan. Reaksi hanya soal saat ini. Respons mencari perbaikan. Reaksi mempertahankan kebiasaan. Respon adalah pilihan sadar. Reaksi dorongan naluriah. Respon memahami konteks. Reaksi mengabaikannya. Respons membawa kemajuan. Reaksi berisiko mundur.

Singkatnya: respons itu terencana dan terarah. Reaksi itu cenderung acak dan tambal sulam. Jawaban kita terhadap terapi kejut tarif ini: respons, bukan reaksi.

Leave A Reply

Your email address will not be published.