Persiapan Hadapi Perang Dagang Amerika dan Tiongkok

0 24

Penulis: Shaanti Shamdasani

Anggota Dewan Pakar Partai NasDem

 

Apakah serangan perdagangan Amerika terhadap Tiongkok dan apakah ada keuntungan yang diraih India? Ya betul India punya banyak  positif dari perang dagang ini. Dalam beberapa tahun terakhir, tensi perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok semakin meningkat.

Perselisihan ini, yang sering disebut sebagai “perang dagang,” dimulai secara intensif pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump dan terus berlanjut hingga kini, meskipun dengan pendekatan yang berbeda. Sanksi, tarif tambahan, dan pembatasan ekspor-impor telah menjadi senjata utama dalam konflik ini. Namun, di tengah ketegangan antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia ini, negara-negara lain melihat peluang—salah satunya adalah India.

Jika kita simak, latar “Belakang Serangan Perdagangan AS terhadap Cina” berakar dari berbagai isu, antara lain:

a. Defisit perdagangan AS dengan Cina.

b. Tuduhan pencurian kekayaan intelektual oleh perusahaan Cina.

c. Tuntutan Amerika  agar Tiongkok membuka pasar dan menghentikan subsidi terhadap industri dalam

negerinya.

Sebagai respons, Amerika mengenakan tarif tambahan terhadap ratusan miliar dolar produk asal Tiongkok. .Tiongkok pun membalas dengan tarif serupa terhadap produk-produk Amerika. Ketegangan ini tidak hanya berdampak pada kedua negara, tetapi juga terhadap rantai pasok global.

India bukan hanya saja penonton yang mendapat panggung, namun konflikk Tiongkok dan India pun telah berjalan cukup lama. India, yang selama ini menjadi kekuatan ekonomi yang terus berkembang, memanfaatkan momen ini untuk menarik keuntungan strategis dan ekonomi.

Beberapa cara India meraih manfaat dari ketegangan ini antara lain:

1. Diversifikasi Rantai Pasok Global

Banyak perusahaan multinasional mulai mencari alternatif di luar Cina untuk mengurangi risiko ketergantungan. India muncul sebagai pilihan menarik karena:

a. Biaya tenaga kerja yang relatif rendah.

b) Populasi muda dan terampil.

c. Dukungan pemerintah terhadap industri manufaktur melalui program seperti “Make in

India”.

d)  India tidak ada sejarah dekat dengan Tiongkok, tidak seperti negara-negara ASEAN.

e. Jika India harus memilih Russia atau Amerika, India akan tetap memilih Amerika, meski India menjadi salah satu motor dari BRICS, namun, sekarang meja sudah berputar.

 

Beberapa perusahaan teknologi besar seperti Apple dan Samsung mulai memindahkan sebagian produksi mereka ke India.

2. Peningkatan Investasi Asing Langsung (FDI)

Ketidakpastian di Cina mendorong aliran investasi asing ke negara-negara alternatif. India mencatat peningkatan FDI di sektor teknologi, farmasi, dan elektronik.

3. Ekspor yang Lebih Kompetitif

Dengan adanya tarif tambahan pada barang Cina, produk dari India menjadi lebih kompetitif di pasar Amerika. Ini memberikan dorongan bagi sektor tekstil, baja, dan bahan kimia India.

4. Peran Geopolitik yang Lebih Strategis

India kini dipandang sebagai mitra penting dalam strategi Indo-Pasifik Amerika. Kerja sama di bidang pertahanan, teknologi, dan perdagangan menjadi semakin intens. Meski mendapat banyak peluang, India juga menghadapi tantangan:

a. Infrastruktur dan regulasi bisnis yang masih harus dibenahi.

b. Ketatnya persaingan dengan negara-negara seperti Vietnam dan Indonesia.

c. Ketergantungan India sendiri terhadap impor dari Cina di sektor teknologi dan bahan mentah.

Secara Kesimpulan jika kita melihat posisi India, serangan perdagangan AS terhadap Tiongkok telah menciptakan gejolak dalam ekonomi global. Namun, bagi India, ini merupakan peluang untuk memperkuat posisinya sebagai pusat manufaktur dan ekonomi yang lebih strategis. Jika dikelola dengan baik, situasi ini bisa menjadi momentum penting bagi India untuk mempercepat pertumbuhannya di panggung global.

Di lain pihak, perdagangan, diplomasi dan posisi Indonesia di tatanan lima besar di dunia masih relative kecil, Vietnam memiliki perdangangan dengan Amerika sebesar US$ 129 juta, Indonesiahanya US$ 20 juta. Justru malah dengan kondisi ini, posisi Indonesia terancam sebagai penerima barang “illegal” dalam bentuk “dumping” yang akan merusak tatanan pasar dan perkembangan ekonomi Indonesia.

Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok telah menciptakan perubahan besar dalam alur perdagangan global. Salah satu efek samping yang kini dirasakan oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia adalah meningkatnya praktik dumping, terutama barang-barang sisa atau yang sulit terserap di pasar utama—yang kerap disebut sebagai “deadgoods”.

Deadgoods merujuk pada barang-barang yang sudah tidak laku di pasar utama karena kelebihan pasokan, perubahan tren, atau tergeser oleh produk yang lebih baru. Ini bisa berupa:

a. Produk elektronik lama.

b. Pakaian atau tekstil sisa ekspor.

c. Barang plastik, baja murah, atau kimia industry.

Dengan diberlakukannya tarif tinggi oleh AS terhadap produk Tiongkok, banyak barang dari Tiongkok tidak bisa masuk ke pasar Amerika. Akibatnya, barang-barang tersebut dialihkan ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Hal ini menciptakan beberapa kondisi:

1. Lonjakan Impor Barang Murah

Indonesia mengalami lonjakan impor barang murah dari Cina yang tidak dapat lagi diserap oleh pasar Amerika atau Eropa. Barang-barang ini masuk ke Indonesia dengan harga yang sangat rendah, menggoyahkan pasar lokal.

2. Tekanan terhadap Industri Dalam Negeri

Sektor manufaktur lokal, terutama yang berskala kecil-menengah (UKM), tertekan karena tidak bisa bersaing dari segi harga. Misalnya, industri tekstil lokal harus bersaing dengan pakaian impor yang dijual sangat murah.

3. Risiko Produk Berkualitas Rendah

Deadgoods yang dibuang ke pasar Indonesia sering kali berkualitas rendah atau tidak sesuai standar. Ini bisa merugikan konsumen dan menimbulkan masalah lingkungan jika barang-barang tersebut sulit didaur ulang atau dibuang.

4. Ketidakseimbangan Neraca Perdagangan

Kenaikan impor barang murah berpotensi memperlebar defisit neraca perdagangan Indonesia, jika tidak diimbangi oleh peningkatan ekspor.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan dan Bea Cukai telah mengambil

beberapa langkah seperti:

a. Peningkatan pengawasan impor dan bea masuk anti-dumping

b. Sertifikasi produk dan peningkatan standar teknisc) Mendorong substitusi impor melalui program hilirisasi industri

Namun demikian, efektivitas kebijakan ini masih bergantung pada kemampuan pelaksanaan dan koordinasi antar lembaga.

Untuk ke depan, Indonesia fokus terhadap membendung produk2 dumping ini, tidak hany sibuk mencari pasar pengganti Amerika. Akan sulit juga untuk Indonesia membuka pasar, disebabkan kedekatan Indnesia dengan Tiongkok dan banyak pabrik2 dan bisnis di Indonesia bukan milik pribumi atau orang Indonesia, namun milik Cina, alias “China Money”

Perlu dipahami bahwa Amerika tidak hanya mengejar Tiongkok, perang Amerika adalah dengan Tiongkok dan negara2 yang membantu Tiongkok.

Melihat perang ini, meski ada “grace period 90 hari”, disarankan agar Pemerintah Indonesia bijak dan membentuk tim diplomasi (yang sangat mengerti cara berpikir & tatktik India) yang lihai untuk melindungi kepentingan bangsa dan negara

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.