Jawaban Tertulis Dewan Pakar soal FGD : RUU Perlindungan Konsumen: Memperkuat Lembaga, Menegakkan Perlindungan Warga Negara
Penulis: Arlinda
Anggota Dewan Pakar Partai NasDem
Pertanyaan :
1. Bagaimana pandangan Partai NasDem terhadap urgensi pembaruan UU Perlindungan konsumen tsb
? Aspek yang dianggap paling perlu diperkuat dalam konteks perlindungan warga negara ?
2. Apa komitmen politik Partai NasDem yg seharus nya dilakukan dalam mendukung penguatan
kelembagaan seperti BPKN dan BPSK agar lebih efektif dan responsif terhadap kebutuhan
masyarakat ?
3. Bagaimana Partai NasDem melihat hubungan antar perlindungan konsumen dan perlindungan hak
warga negara dalam kerangka hukum dan demokrasi ?
4. Apakah Partai NasDem melihat perluasan mandat lembaga perlindungan konsumen ( misalnya pemberian kewenangan penyidikan administratif atau mediasi digital) sebagai bal strategis dalam RUU ini ?
5. Apa strategi Partai NasDem agar substansi perlindungan konsumen dalam RUU ini lebih inclusif,
terutama untuk menjangkau kelompok rentan, miskin, dan yg tinggal di daerah 3 T (tertinggal,
terdepan , terluar) ?
6. Bagaimana komitmen DPR, Khususnya Fraksi NasDem dalam memastikan partisipasi publik dan
transparansi dalam proses legislasi RUU ini agar tidak hanya elite-driven ?
1SARAN DAN MASUKAN TERHADAP PERTANYAAN FGD PARTAI NASDEM KEPADA DEWAN PAKAR PARTAI NASDEM TERKAIT REVISI RUU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Dewan Pakar Partai NasDem
1. BAGAIMANA PANDANGAN PARTAI NASDEM TERHADAP URGENSI PEMBARUAN UU
PERLINDUNGAN KONSUMEN TSB ? ASPEK YANG DIANGGAP PALING PERLU DIPERKUAT
DALAM KONTEKS PERLINDUNGAN WARGA NEGARA ?
Pandangan Partai NasDem terhadap urgensi pembaruan UU Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999) sangatlah penting, terutama di era digital ini, di mana konsumen semakin bergantung pada platform digital dan transaksi online. Pembaruan UU ini tidak hanya diperlukan untuk mengakomodasi perkembangan teknologi, tetapi juga untuk memberikan perlindungan yang lebih nyata dan menyeluruh bagi konsumen dalam menghadapi tantangan ekonomi digital, di mana banyak transaksi terjadi secara lintas batas, dan banyak produk serta layanan yang melibatkan pihak ketiga.
URGENSI PEMBARUAN UU PERLINDUNGAN KONSUMEN:
1. Perubahan Ekonomi dan Teknologi
Di era digital, perilaku konsumen berubah drastis. Banyak transaksi yang dilakukan melalui aplikasi, marketplace, dan platform online. E-commerce dan perdagangan lintas negara (cross-border trade) berkembang pesat, namun UU Perlindungan Konsumen saat ini belum secara khusus mengatur transaksi yang terjadi dalam ruang digital. Konsumen kini membeli barang
dari luar negeri melalui platform besar tanpa ada jaminan atau perlindungan yang memadai jika terjadi sengketa.
2. Fenomena Baru dalam Bisnis Digital
Adanya tren influencer marketing, penipuan digital, dan algoritma yang eksploitatif (dark pattern) yang dirancang untuk memanipulasi konsumen, semakin memperburuk ketidakadilan dalam transaksi. Platform digital sering kali lepas tangan atas kesalahan yang dilakukan oleh penjual atau penyedia layanan. UU yang ada saat ini belum sepenuhnya melindungi konsumen
dari praktik-praktik ini.
3. Transaksi Lintas Negara
Marketplace besar seringkali melibatkan penjual asing, yang sulit dijangkau oleh hukum Indonesia jika terjadi sengketa. UU Perlindungan Konsumen yang ada tidak memperhitungkan situasi ini secara tepat, yang mengakibatkan banyak konsumen yang tidak bisa menuntut hak mereka meskipun telah dirugikan oleh pelaku usaha luar negeri.
4. Perlindungan Data Konsumen
Data pribadi kini menjadi aset yang sangat berharga, dan sering kali disalahgunakan oleh platform atau pelaku usaha. UU yang ada belum mengatur secara jelas tentang perlindungan data pribadi dalam transaksi digital. Hal ini berpotensi merugikan konsumen karena risiko kebocoran data pribadi.
ASPEK YANG PALING PERLU DIPERKUAT DALAM KONTEKS PERLINDUNGAN WARGA NEGARA:
1. Pembaruan dan Perluasan Definisi Konsumen dan Pelaku Usaha
• Definisi Konsumen: UU harus mengakomodasi konsumen digital, bukan hanya pembeli barang fisik di toko. Ini penting untuk mencakup konsumen yang berinteraksi dengan layanan berbasis aplikasi, platform e-commerce, atau layanan berbasis cloud.
• Definisi Pelaku Usaha: Perlu diperjelas bahwa platform digital (seperti marketplace, aplikasi jual beli, layanan berbasis cloud) juga termasuk sebagai pelaku usaha yang wajib bertanggung jawab atas transaksi yang terjadi dalam platform mereka.
2. Pengaturan Tanggung Jawab Platform
• Platform sebagai penghubung antara konsumen dan penjual harus bertanggung jawab terhadap kepatuhan hukum dan keamanan transaksi.
o Ini termasuk memastikan produk yang dijual melalui platform mereka tidak melanggar hukum atau merugikan konsumen, serta memiliki prosedur pengaduan yang jelas.
o Penyelesaian sengketa harus menjadi tanggung jawab bersama antara platform dan penjual, tidak bisa semata-mata dibiarkan kepada konsumen untuk menangani sendiri.
3. Perlindungan Data Pribadi
• Mengingat banyak transaksi yang melibatkan pengumpulan dan pemrosesan data pribadi konsumen, perlindungan data pribadi harus diatur secara lebih ketat dalam UU Perlindungan Konsumen.
• Hal ini mencakup pengaturan yang lebih rinci tentang hak konsumen atas data pribadi mereka, termasuk hak untuk mengakses, memperbaiki, menghapus data pribadi (right to be forgotten), serta pemberian izin eksplisit untuk penggunaan data pribadi.
4. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Digital
• UU Perlindungan Konsumen harus mengakomodasi penyelesaian sengketa secara online, karena konsumen seringkali menghadapi masalah dengan produk atau layanan digital yang membutuhkan pengaduan dan penyelesaian sengketa melalui platform digital.
3• Penyelesaian sengketa secara efisien dan cepat tanpa perlu ke pengadilan harus menjadi prioritas, dengan melibatkan lembaga seperti BPSK yang juga diperkuat kewenangannya dalam ranah digital.
5. Sanksi dan Penegakan Hukum yang Lebih Kuat
• Penegakan hukum terhadap pelaku usaha yang melanggar hak konsumen harus lebih tegas, terutama terkait pelaku usaha yang mengabaikan putusan lembaga penyelesaian sengketa seperti BPSK.
• Pemberian sanksi yang lebih berat dan lebih luas kepada platform yang melanggar hak konsumen, termasuk pencabutan izin operasional platform tersebut di Indonesia, akan memberikan efek jera.
6. Perlindungan Konsumen terhadap Praktik Manipulatif Digital
• Penyalahgunaan algoritma dan teknik manipulatif (dark pattern) yang merugikan konsumen harus diatur. Misalnya, praktik yang memaksa konsumen untuk membeli lebih banyak produk atau memanipulasi konsumen untuk membuat keputusan pembelian yang buruk melalui desain antarmuka yang memihak pelaku usaha.
REKOMENDASI KEBIJAKAN UNTUK PEMBARUAN UU PERLINDUNGAN KONSUMEN:
• Definisi yang jelas dan inklusif tentang konsumen digital, pelaku usaha digital, dan transaksi lintas negara.
• Tanggung jawab platform sebagai penghubung antara konsumen dan penjual.
• Peningkatan kewenangan lembaga penyelesaian sengketa untuk mencakup sengketa digital.
• Pengaturan dan penegakan perlindungan data pribadi yang lebih ketat, dengan sanksi yang lebih tegas.
• Penyediaan mekanisme penyelesaian sengketa secara digital (online dispute resolution).
• Penegakan sanksi lebih tegas terhadap pelaku usaha yang merugikan konsumen, khususnya di dunia digital.
KESIMPULAN:
Pembaruan UU Perlindungan Konsumen sangat mendesak mengingat perkembangan pesat sektor digital yang melibatkan platform-platform besar, serta tingginya volume transaksi digital. Pembaruan ini tidak hanya akan memberikan perlindungan yang lebih baik bagi konsumen, tetapi juga menciptakan ekosistem bisnis yang lebih adil dan transparan di dunia digital. Partai politik dan lembaga legislatif harus segera menginisiasi revisi ini untuk menjaga hak-hak konsumen dalam menghadapi tantangan teknologi yang terus berkembang.
42. APA KOMITMEN POLITIK PARTAI NASDEM YG SEHARUS NYA DILAKUKAN DALAM MENDUKUNG PENGUATAN KELEMBAGAAN SEPERTI BPKN DAN BPSK AGAR LEBIH EFEKTIF DAN RESPONSIF TERHADAP KEBUTUHAN MASYARAKAT ?
Partai politik seharusnya tidak hanya fokus pada isu makro atau elektoral, tapi juga mendorong penguatan kelembagaan yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat sehari-hari, seperti perlindungan konsumen.
KOMITMEN YANG SEHARUSNYA DILAKUKAN PARTAI POLITIK:
1. Mendorong Legislasi Pro Konsumen di DPR
• Anggota DPR dari partai politik harus aktif menginisiasi atau memperkuat:
o Revisi UU No. 8 Tahun 1999 agar lebih adaptif terhadap transaksi digital.
o UU Perdagangan Digital yang mempertegas tanggung jawab e-commerce.
o Penguatan kewenangan BPSK dan BPKN (misal: putusan BPSK dapat langsung dieksekusi, atau BPKN diberi fungsi investigatif). Contoh konkret:
• Fraksi partai mendorong RUU Perlindungan Konsumen Digital atau revisi UU yang memperluas yurisdiksi BPSK ke transaksi online lintas daerah.
2. Meningkatkan Anggaran dan Infrastruktur Lembaga
• Melalui fungsi anggaran di DPR/DPRD, partai politik bisa:
o Mengusulkan peningkatan dana operasional dan pengembangan SDM BPSK.
o Membiayai digitalisasi sistem aduan konsumen berbasis aplikasi nasional.
o Mendukung pembentukan BPSK baru di kabupaten/kota yang belum punya.
Contoh konkret:
Fraksi partai NasDem di Komisi VI DPR mengalokasikan APBN untuk pengembangan 100 BPSK
baru dan sistem “e-BPSK”.
3. Mendorong Akuntabilitas Pelaku Usaha Digital
• Partai politik bisa mendorong aturan tegas agar:
o Marketplace wajib tunduk pada putusan BPSK.
4. Ada sanksi administratif atau pencabutan izin bagi pelaku usaha yang lalai terhadap
hak konsumen.. Melibatkan BPKN dan BPSK dalam Proses Legislasi
• Fraksi partai bisa memanggil BPKN dan BPSK sebagai narasumber dalam RDP (rapat
dengar pendapat).
• Ini memperkuat koneksi antara lembaga pelaksana dan pembuat kebijakan.
5. Mengedukasi Konstituen Soal Hak Konsumen
• Partai politik punya basis massa — ini bisa digunakan untuk:
o Kampanye literasi konsumen.
o Sosialisasi cara lapor ke BPSK.
o Mendorong advokasi dari bawah (bottom-up).
Contoh:
• Dalam kegiatan reses, anggota dewan menyampaikan cara lapor sengketa digital ke
BPSK.
MENGAPA INI PENTING?
Karena tanpa dukungan politik, BPSK dan BPKN akan:
• Terus kekurangan anggaran.
• Terus dipandang lembaga pinggiran.
• Tidak punya kekuatan hukum dalam sengketa yang bersifat transnasional/digital.
• Terlambat beradaptasi dengan teknologi dan pola belanja masyarakat.
Refleksi Penutup
“Di era digital, konsumen bukan sekadar pembeli — mereka adalah warga negara yang harus
dilindungi haknya. Perlindungan konsumen adalah isu demokrasi, dan partai politik harus
berdiri di sisi rakyat.”
6Policy Brief:
Penguatan Lembaga Perlindungan Konsumen (BPKN & BPSK) melalui Dukungan Politik
Judul:
“MEMPERKUAT LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN:
KOMITMEN STRATEGIS PARTAI POLITIK UNTUK MEWUJUDKAN KEADILAN EKONOMI DIGITAL”
1. Latar Belakang
Indonesia tengah mengalami lonjakan transaksi digital dan e-commerce. Namun, perlindungan konsumen masih tertinggal jauh. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai garda depan perlindungan, menghadapi tantangan struktural, kelembagaan, dan kewenangan yang terbatas.
2. Masalah Kunci
• BPKN bersifat konsultatif, tidak memiliki wewenang eksekusi atau pengawasan hukum.
• Putusan BPSK sering diabaikan pelaku usaha, dan eksekusinya masih harus melalui
pengadilan.
• Jumlah BPSK terbatas, hanya ada di sebagian kota, SDM & anggaran terbatas.
• Tidak ada integrasi sistem aduan konsumen digital nasional.
• Partisipasi politik terhadap isu perlindungan konsumen masih rendah.
3. Usulan Kebijakan (Rekomendasi
A. Komitmen Legislasi
• Mendorong revisi UU No. 8 Tahun 1999 agar:
o BPSK dapat memberi putusan yang langsung eksekutif.
o BPKN memiliki fungsi investigasi dan rekomendasi mengikat.
• Mendorong RUU Perlindungan Konsumen Digital.
B. Komitmen Anggaran
• Alokasi APBN/APBD untuk:
o Pembentukan BPSK baru di tiap kabupaten/kota.
o Pengembangan Sistem Digital BPSK Nasional (e-BPSK).
o Pelatihan SDM dan peningkatan kapasitas anggota BPSK.
7C. Komitmen Advokasi
• Fraksi partai wajib:
o Mengundang BPKN dan BPSK dalam rapat dengar pendapat.
o Memperjuangkan sanksi administratif bagi pelaku usaha digital nakal.
o Sosialisasi aktif di daerah pemilihan (Dapil) mengenai hak dan cara melapor.
4. Urgensi Politik
Perlindungan konsumen adalah bagian dari keadilan ekonomi dan wujud konkret keberpihakan partai pada rakyat kecil.
Elektabilitas partai akan meningkat jika partai dianggap pro terhadap:
• Keadilan digital,
• Anti eksploitasi platform raksasa,
• Penegakan hukum konsumen.
5. Penutup
Penguatan BPKN dan BPSK tidak hanya memperkuat perlindungan konsumen, tapi juga membangun kepercayaan publik terhadap institusi politik. Saatnya partai politik hadir dalam urusan yang langsung menyentuh kehidupan rakyat sehari-hari.
83. BAGAIMANA PARTAI NASDEM MELIHAT HUBUNGAN ANTAR PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERLINDUNGAN HAK WARGA NEGARA DALAM KERANGKA HUKUM DAN DEMOKRASI ?
Pertanyaan ini sangat strategis, karena perlindungan konsumen bukan hanya masalah ekonomi atau pasar, tetapi juga berkaitan langsung dengan hak warga negara dalam konteks hukum dan demokrasi. Partai politik memiliki peran kunci dalam memastikan bahwa perlindungan konsumen terintegrasi dalam kebijakan yang lebih luas terkait hak-hak warga negara, serta memperjuangkan keadilan dan pemerataan dalam perekonomian.
HUBUNGAN ANTARA PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERLINDUNGAN HAK WARGA NEGARA DALAM KERANGKA HUKUM DAN DEMOKRASI
1. Perlindungan Konsumen sebagai Bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) Dalam kerangka hukum dan demokrasi, perlindungan konsumen merupakan bagian dari hak asasi manusia, yaitu hak untuk mendapatkan produk dan layanan yang aman, berkualitas, dan sesuai dengan yang dijanjikan. Ini bukan hanya hak ekonomi, tetapi juga hak untuk dilindungi dari eksploitasi, penipuan, dan penyalahgunaan yang sering terjadi dalam pasar bebas.
• Pandangan Partai Politik:
o Partai politik yang berkomitmen pada prinsip HAM akan melihat perlindungan konsumen sebagai salah satu bagian dari hak sipil dan politik. Dengan demikian, hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang transparan, keamanan produk, serta
kebebasan dari penipuan harus dijamin oleh negara.
o Demokrasi yang sehat membutuhkan pasar yang adil, di mana konsumen tidak diabaikan atau dirugikan. Partai politik yang berorientasi pada keadilan sosial dan hak rakyat harus melihat bahwa melindungi konsumen adalah cara untuk memperkuat
demokrasi itu sendiri.
2. Perlindungan Konsumen dan Keadilan Sosial Demokrasi yang kuat tidak hanya berarti adanya hak untuk memilih, tetapi juga hak untuk diperlakukan secara adil dalam kehidupan ekonomi, termasuk dalam transaksi pasar. Jika konsumen terus-menerus dirugikan tanpa perlindungan yang memadai, hal ini bisa mengarah pada ketidaksetaraan yang lebih besar dalam masyarakat.
• Pandangan Partai Politik:
o Partai yang mendukung keadilan sosial harus memastikan bahwa perlindungan konsumen menjadi bagian integral dari kebijakan sosial-ekonomi. Tanpa perlindungan yang efektif, sebagian besar konsumen akan kesulitan mendapatkan akses yang adil terhadap barang dan jasa, sementara pelaku usaha besar sering mendapat perlakuan yang lebih baik.
o Perlindungan konsumen adalah salah satu cara untuk menciptakan kesetaraan ekonomi. Oleh karena itu, partai politik yang berpihak pada rakyat perlu menganggapnya sebagai bagian dari keadilan sosial dan redistribusi kekayaan yang lebih merata.
3. Keterbukaan dan Partisipasi dalam Sistem Demokrasi
Salah satu pilar demokrasi adalah transparansi, yaitu kemampuan rakyat untuk memperoleh informasi yang jelas dan akurat terkait dengan produk, layanan, dan kebijakan publik. Dalam konteks ini, perlindungan konsumen dapat dianggap sebagai bagian dari hak untuk informasi, yang memungkinkan konsumen membuat keputusan yang lebih baik dalam transaksi mereka.
• Pandangan Partai Politik:
o Partai politik yang berorientasi pada demokrasi partisipatif akan mendorong kebijakan yang meningkatkan akses informasi bagi konsumen. Mereka akan mendukung sistem yang memungkinkan konsumen untuk mengetahui dengan jelas apa yang mereka beli, risiko yang terlibat, dan apa yang harus mereka lakukan jika terjadi sengketa.
o Melalui kebijakan keterbukaan informasi, partai politik juga dapat memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem ekonomi dan pemerintahan.
4. Perlindungan Konsumen dalam Kerangka Kedaulatan Ekonomi Kedaulatan ekonomi adalah prinsip yang mengedepankan kepentingan bangsa dalam pengelolaan ekonomi, bukan hanya kepentingan pelaku usaha atau pihak asing. Dalam hal ini, perlindungan konsumen berperan sebagai alat untuk memastikan bahwa kesejahteraan rakyat dan keamanan ekonomi dijaga dalam setiap transaksi.
• Pandangan Partai Politik:
o Partai politik dengan agenda kedaulatan ekonomi harus memperjuangkan perlindungan hak konsumen untuk mencegah praktek ekonomi yang merugikan warga negara, baik yang dilakukan oleh pelaku usaha domestik maupun asing.
o Perlindungan konsumen dalam hal ini berarti mengatur pasar agar tidak ada eksploitasi atau monopoli yang merugikan masyarakat, sehingga hak konsumen untuk mendapatkan produk yang aman dan berkualitas tetap terjaga.
5. Penguatan Hukum dan Keadilan Akses
Dalam konteks demokrasi, akses ke keadilan adalah salah satu hak fundamental. Bagi konsumen, akses untuk memperjuangkan haknya di hadapan hukum—terutama ketika mereka dirugikan oleh pelaku usaha—harus dilindungi dan difasilitasi oleh negara. Tanpa sistem penyelesaian sengketa yang efektif, konsumen bisa merasa tidak mendapatkan perlindungan yang memadai.
10• Pandangan Partai Politik:
o Partai politik harus mendukung dan memperkuat lembaga penyelesaian sengketa konsumen seperti BPSK dan BPKN agar dapat bekerja dengan lebih efektif, menyediakan akses keadilan yang lebih murah dan cepat bagi konsumen yang
dirugikan.
o Partai politik yang peduli terhadap hak-hak warga negara harus memastikan bahwa lembaga penyelesaian sengketa konsumen memiliki kewenangan yang lebih besar dan dapat menegakkan hak konsumen dengan tegas.
KESIMPULAN:
Perlindungan konsumen harus dilihat sebagai bagian dari perlindungan hak-hak warga negara yang lebih luas dalam kerangka hukum dan demokrasi. Partai politik memiliki tanggung jawab untuk menjamin bahwa kebijakan perlindungan konsumen tidak hanya fokus pada kepentingan ekonomi atau pasar, tetapi juga pada keadilan sosial, transparansi, dan kedaulatan ekonomi.
Dalam konteks ini, perjuangan untuk melindungi konsumen adalah perjuangan untuk melindungi hak-hak dasar setiap warga negara dalam masyarakat yang demokratis.
114. APAKAH PARTAI MELIHAT PERLUASAN MANDAT LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN
(MISALNYA PEMBERIAN KEWENANGAN PENYIDIKAN ADMINISTRATIF ATAU MEDIASI
DIGITAL) SEBAGAI HAL STRATEGIS DALAM RUU INI ?
Pertanyaan tentang perluasan mandat lembaga perlindungan konsumen, seperti pemberian kewenangan penyidikan administratif atau mediasi digital, merupakan langkah strategis yang sangat relevan dan penting dalam konteks reformasi Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999).
Dalam pandangan saya, partai politik, terutama yang berorientasi pada keadilan sosial, hak-hak warga negara, dan penegakan hukum yang efektif, kemungkinan akan melihat perluasan kewenangan lembaga perlindungan konsumen sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan akses keadilan, efisiensi penyelesaian sengketa, dan pengawasan yang lebih ketat terhadap pelaku usaha di era digital.
ALASAN MENGAPA PERLUASAN MANDAT LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SANGAT STRATEGIS:
1. Meningkatkan Efektivitas Penegakan Hukum di Era Digital
Dengan pesatnya perkembangan transaksi digital, konsumen sering kali menghadapi masalah yang lebih kompleks dan berbeda dibandingkan dengan transaksi konvensional. Misalnya, konsumen membeli barang dari penjual luar negeri melalui platform e-commerce, atau produk digital yang tidak dapat dipulihkan secara fisik (seperti langganan aplikasi). Hal ini memerlukan lembaga yang memiliki kewenangan lebih luas untuk menangani masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme hukum konvensional.
• Penyidikan Administratif:
o Pemberian kewenangan penyidikan administratif kepada lembaga perlindungan konsumen, seperti BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) dan BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen), akan mempercepat proses penyelesaian sengketa dan memberi mereka kapasitas untuk melakukan investigasi independen terhadap pelaku usaha yang melanggar hak-hak konsumen.
o Kewenangan ini juga membantu mempersempit ruang bagi pelaku usaha nakal, terutama yang mencoba menghindari tanggung jawab dengan melibatkan pihak ketiga atau transaksi lintas batas yang sulit dijangkau hukum nasional.
• Mediasi Digital:
o Dengan meningkatnya transaksi yang terjadi melalui platform digital, penyelesaian sengketa yang terjadi online juga harus bisa difasilitasi oleh lembaga perlindungan konsumen dengan mekanisme mediasi digital.
o Mediasi digital akan membuat konsumen lebih mudah mengajukan keluhan dan menyelesaikan sengketa tanpa harus datang langsung ke lembaga fisik atau pengadilan, yang memakan waktu dan biaya.
Hal ini juga akan memberikan akses yang lebih adil bagi konsumen yang tinggal di daerah terpencil atau yang tidak memiliki waktu atau sumber daya untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur tradisional.
2. Meningkatkan Akses dan Keadilan untuk Semua Konsumen
Salah satu tantangan besar di Indonesia adalah akses yang terbatas terhadap mekanisme penyelesaian sengketa bagi konsumen, terutama di daerah-daerah yang jauh dari pusat ekonomi atau hukum. Dengan adanya penyidikan administratif dan mediasi digital, lembaga perlindungan konsumen dapat lebih merata menjangkau seluruh lapisan masyarakat, termasukmereka yang tinggal di daerah terpencil atau kesulitan mengakses mekanisme penyelesaian sengketa yang ada.
• Penguatan Lembaga Perlindungan Konsumen:
o Pemberian kewenangan penyidikan administratif memungkinkan lembaga-lembaga seperti BPSK untuk menindak pelanggaran dengan cepat dan langsung. Ini akan membuat lembaga lebih efektif dalam mengawasi dan memproses masalah yang sering kali tidak terdeteksi di pasar tradisional.
o Mediasi digital memberi keleluasaan bagi konsumen untuk mengajukan masalah tanpa harus keluar rumah atau menghadiri proses mediasi fisik yang sering kali menyulitkan.
3. Mengakomodasi Perubahan Pola Perilaku Konsumen di Era Digital Konsumen saat ini semakin terhubung dengan teknologi dan mengandalkan transaksi online, baik untuk membeli produk fisik, berlangganan layanan digital, atau menggunakan berbagai platform e-commerce. Seiring dengan itu, jenis sengketa yang muncul juga semakin beragam, seperti sengketa terkait penipuan online, produk cacat digital, atau pelanggaran privasi dan data pribadi.
• Penyidikan Administratif dalam konteks ini memungkinkan lembaga perlindungan konsumen untuk melakukan investigasi terhadap praktek-praktek yang merugikan konsumen di dunia digital (misalnya, penipuan, penyalahgunaan data pribadi, atau manipulasi algoritma). Dengan tambahan kewenangan ini, lembaga akan lebih proaktif dalam menindaklanjuti laporan dari konsumen atau dari hasil pengawasan pasar.
• Mediasi Digital akan memungkinkan lembaga untuk menangani sengketa yang terjadi pada platform online, memberikan solusi yang cepat dan efisien tanpa harus mempersulit konsumen dengan prosedur hukum yang panjang dan rumit.
4. Mendorong Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Pemberian kewenangan penyidikan administratif dan mediasi digital akan membuat pelaku usaha lebih bertanggung jawab terhadap konsumen. Dengan adanya kewenangan ini, lembaga perlindungan konsumen dapat secara langsung menindaklanjuti pelanggaran yang terjadi, serta memberikan sanksi atau solusi yang dapat segera diterapkan.
13• Penegakan Hukum Lebih Tegas: Partai politik yang peduli terhadap keadilan sosial akan melihat bahwa memperkuat lembaga ini akan meningkatkan efektivitas penegakan hukum terhadap pelaku usaha, khususnya di platform digital yang sering kali terlepas dari pengawasan yang ketat.
• Pencegahan Praktik Curang: Partai politik yang berpihak pada konsumen dan memperjuangkan hak-hak rakyat akan mendukung agar pelaku usaha yang melanggar hak konsumen diberi sanksi yang tegas, termasuk penyelidikan administratif yang dapat mengarah pada denda, penghentian operasional sementara, atau bahkan pencabutan izin
usaha.
KESIMPULAN:
Perluasan mandat lembaga perlindungan konsumen, terutama dalam bentuk penyidikan administratif dan mediasi digital, merupakan langkah strategis yang sangat relevan untuk menjawab tantangan di era digital. Hal ini akan memberikan akses yang lebih cepat, adil, dan efisien bagi konsumen untuk memperjuangkan hak-haknya dan meningkatkan tanggung jawab
pelaku usaha dalam menyediakan produk dan layanan yang aman serta sesuai dengan standar yang dijanjikan.
• Penyidikan administratif akan membantu mengatasi pelanggaran yang tidak selalu dapat terdeteksi oleh konsumen secara langsung dan dapat mempercepat penyelesaian sengketa tanpa harus melalui jalur hukum yang formal.
• Mediasi digital akan membuka akses penyelesaian sengketa yang lebih inklusif, memberi solusi yang lebih praktis dan terjangkau bagi konsumen di seluruh Indonesia. Partai politik yang berpihak pada keadilan sosial dan perlindungan hak-hak warga negara kemungkinan besar akan mendukung perluasan mandat lembaga perlindungan konsumen sebagai bagian dari agenda reformasi hukum yang lebih responsif terhadap perkembangan teknologi dan pasar digital.
145. APA STRATEGI PARTAI NASDEM AGAR SUBSTANSI PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM
RUU INI LEBIH INCLUSIF, TERUTAMA UNTUK MENJANGKAU KELOMPOK RENTAN,
MISKIN, DAN YG TINGGAL DI DAERAH 3 T (TERTINGGAL, TERDEPAN , TERLUAR) ?
Untuk memastikan bahwa substansi perlindungan konsumen dalam Rancangan Undang- Undang (RUU) ini lebih inklusif, terutama untuk kelompok rentan, miskin, dan yang tinggal di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar), diperlukan strategi yang holistik dan berbasis pada pemahaman tentang karakteristik sosial-ekonomi dan geografis dari kelompok-kelompok ini.
Perlindungan konsumen harus benar-benar menjangkau semua lapisan masyarakat, tanpa terkecuali, dan memberikan akses yang setara terhadap hak-hak konsumen mereka, terlepas dari keterbatasan yang mereka hadapi.
Berikut adalah beberapa strategi kunci untuk memastikan inklusi dalam substansi perlindungan konsumen dalam RUU ini:
1. PENGUATAN AKSES INFORMASI DAN EDUKASI KONSUMEN
Kelompok rentan, miskin, dan yang tinggal di daerah 3T sering kali tidak memiliki akses yang memadai terhadap informasi yang dapat membantu mereka dalam membuat keputusan konsumen yang cerdas. Oleh karena itu, edukasi dan pemberdayaan konsumen menjadi prioritas utama.
• Edukasi melalui Teknologi yang Terjangkau:
o Menggunakan media sosial, aplikasi mobile, dan kampanye edukasi melalui radio atau televisi lokal untuk mengedukasi masyarakat di daerah 3T tentang hak-hak konsumen mereka. Media sosial, misalnya, dapat digunakan untuk menyebarkan informasi secara gratis dan cepat, sehingga menjangkau mereka yang tinggal di daerah terpencil atau terisolasi.
o Program pendidikan langsung di daerah-daerah tersebut, misalnya melalui posko edukasi konsumen yang dibentuk oleh lembaga pemerintah atau NGO.
• Bahasa dan Format yang Mudah Dimengerti:
o Menggunakan bahasa yang sederhana dan format visual yang mudah dimengerti oleh semua kelompok, terutama yang kurang melek literasi hukum atau digital.
o Menggunakan materi pendidikan berbasis audio-visual, yang bisa diakses lewat ponsel pintar atau perangkat lain yang lebih terjangkau oleh masyarakat di daerah 3T.
2. PENGUATAN INFRASTRUKTUR PENYELESAIAN SENGKETA YANG AKSESIBEL
Untuk memastikan konsumen di daerah 3T memiliki akses yang sama terhadap penyelesaian sengketa, perlu ada penguatan infrastruktur penyelesaian sengketa yang tidak terbatas pada proses fisik di kota-kota besar.
15• Mediasi Digital:
o Menyediakan platform mediasi digital yang dapat digunakan oleh konsumen di daerah- daerah terisolasi untuk mengajukan keluhan dan menyelesaikan sengketa tanpa harus datang ke lembaga fisik yang terpusat. Teknologi digital seperti aplikasi berbasis chatbot, video call, atau website interaktif dapat menjadi solusi efektif bagi mereka yang tinggal di daerah 3T.
• Membangun Posko Penyelesaian Sengketa di Daerah Tertentu:
o BPSK atau lembaga terkait dapat membentuk posko-posko penyelesaian sengketa di daerah 3T yang berfokus pada mediasi dan konsultasi hukum secara langsung kepada konsumen tanpa perlu mengakses layanan pengadilan yang mahal.
• Penggunaan Agen Penghubung:
o Memanfaatkan kelompok masyarakat setempat (seperti tokoh adat, kepala desa, atau organisasi lokal) yang lebih dekat dengan masyarakat untuk membantu mereka dalam mengakses lembaga penyelesaian sengketa dan memberikan informasi yang mereka butuhkan.
3. SUBSIDI ATAU BANTUAN BIAYA HUKUM DAN MEDIASI
Bagi kelompok masyarakat yang rentan secara ekonomi, biaya untuk mengakses keadilan atau penyelesaian sengketa sering kali menjadi penghalang besar. Oleh karena itu, untuk memastikan akses yang setara, partai politik dan lembaga terkait perlu mempertimbangkan kebijakan subsidi biaya hukum.
• Bantuan Hukum untuk Konsumen Miskin:
o Membentuk program bantuan hukum untuk konsumen miskin yang memungkinkan mereka untuk mengakses layanan hukum dan mediasi tanpa biaya atau dengan biaya yang sangat terjangkau.
o Subsidi biaya mediasi untuk konsumen di daerah 3T, agar mereka tidak terhambat oleh biaya tinggi dalam proses penyelesaian sengketa.
• Fasilitas Pembiayaan yang Terjangkau:
o Menyediakan opsi pembiayaan untuk mengakses layanan penyelesaian sengketa bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya penyelesaian sengketa yang mungkin timbul.
4. PENINGKATAN KETERLIBATAN PEMERINTAH DAN PARTAI POLITIK DALAM PENYULUHAN
Partai politik dan lembaga pemerintah memiliki peran penting dalam meningkatkan kesadaran dan memperjuangkan kebijakan yang inklusif.
• Kolaborasi dengan Organisasi Lokal:
o Partai politik dapat bekerja sama dengan NGO, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi lokal untuk melakukan penyuluhan dan pengedukasian langsung di daerah 3T tentang hak-hak konsumen.
o Mengadakan kampanye kesadaran yang melibatkan komunitas lokal untuk memperkuat perlindungan konsumen bagi mereka yang paling rentan.
16• Meningkatkan Infrastruktur Penyuluhan:
o Menyediakan infrastruktur penyuluhan di daerah 3T, seperti pusat informasi atau klinik hukum untuk membantu masyarakat memahami hak-hak mereka dalam transaksi pasar dan cara menghadapinya jika terjadi masalah.
5. PENGATURAN KHUSUS UNTUK PRODUK DAN LAYANAN YANG MENGARAH KE KELOMPOK
RENTAN
Di dalam RUU Perlindungan Konsumen, perlu ada regulasi yang lebih spesifik dan komprehensif yang menjamin bahwa produk atau layanan yang ditujukan untuk kelompok rentan, miskin, atau tinggal di daerah 3T memiliki standar yang sesuai dan tidak merugikan mereka.
• Pengaturan Khusus untuk Produk Murah dan Sehat:
o Memastikan bahwa produk yang dijual kepada kelompok rentan, seperti makanan murah atau obat-obatan, harus memenuhi standar kualitas dan keamanan yang tinggi agar tidak menimbulkan kerugian bagi konsumen.
• Pelindungan terhadap Praktik Exploitasi:
o Memastikan bahwa kelompok rentan dilindungi dari praktik-praktik seperti pembelian dengan harga tinggi untuk barang berkualitas rendah atau penipuan yang banyak terjadi di daerah-daerah dengan akses pasar terbatas.
6. PENINGKATAN KAPASITAS BPSK DAN BPKN DI DAERAH 3T
Untuk menjangkau masyarakat di daerah 3T, perlu ada peningkatan kapasitas lembaga penyelesaian sengketa seperti BPSK dan BPKN agar mereka dapat bekerja lebih efektif dalam mengatasi keluhan dan sengketa konsumen yang sering terjadi di daerah-daerah tersebut.
• Pelatihan untuk Lembaga di Daerah 3T:
o Mengadakan pelatihan dan peningkatan kapasitas untuk lembaga penyelesaian sengketa yang ada di daerah 3T agar lebih tanggap terhadap kebutuhan lokal dan lebih mampu memberikan layanan yang inklusif.
KESIMPULAN:
Untuk memastikan substansi perlindungan konsumen dalam RUU Perlindungan Konsumen ini lebih inklusif dan dapat menjangkau kelompok rentan, termasuk mereka yang tinggal di daerah 3T, beberapa strategi yang perlu diterapkan adalah:
1. 2. 3. 4. Edukasi dan penyuluhan konsumen menggunakan berbagai platform dan bahasa yang
dapat dijangkau semua kalangan. Penyediaan infrastruktur mediasi digital dan penyelesaian sengketa di daerah 3T.
Subsidi biaya hukum dan mediasi untuk konsumen miskin. Keterlibatan partai politik dan pemerintah dalam memastikan implementasi kebijakan yang inklusif.
175. 6. Pengaturan produk dan layanan khusus untuk kelompok rentan. Peningkatan kapasitas lembaga penyelesaian sengketa di daerah 3T. Melalui strategi-strategi ini, perlindungan konsumen dapat lebih adil, merata, dan memberikan
akses yang setara bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama mereka yang paling membutuhkan perlindungan.
186. BAGAIMANA KOMITMEN DPR, KHUSUSNYA FRAKSI NASDEM DALAM MEMASTIKAN
PARTISIPASI PUBLIK DAN TRANSPARANSI DALAM PROSES LEGISLASI RUU INI AGAR
TIDAK HANYA ELITE-DRIVEN ?
Komitmen Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), khususnya Partai NasDem dalam memastikan partisipasi publik dan transparansi dalam proses legislasi RUU Perlindungan Konsumen sangat penting untuk menciptakan proses legislasi yang inklusif, adil, dan berkeadilan. Agar tidak hanya didorong oleh kepentingan elite, DPR perlu mengambil langkah-langkah strategis yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat dalam perumusan undang-undang ini. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil oleh DPR untuk memastikan bahwa proses legislasi ini benar-benar mewakili kepentingan rakyat dan bukan hanya elite-driven.
1. PENINGKATAN PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES LEGISLASI
Partisipasi publik adalah bagian integral dari demokrasi yang sehat. Oleh karena itu, DPR harus membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat sipil, organisasi konsumen, akademisi, dan praktisi hukum untuk memberikan masukan dalam proses pembahasan RUU.
Langkah-langkah konkret yang bisa dilakukan DPR:
• Konsultasi Publik yang Terbuka dan Terstruktur:
o DPR harus mengadakan konsultasi publik yang melibatkan seluruh kelompok masyarakat, baik di level nasional maupun daerah. Konsultasi ini bisa dilakukan melalui forum tatap muka, diskusi panel, atau webinar yang bisa diikuti oleh semua pihak, termasuk yang tinggal di daerah 3T.
o Menyediakan akses yang mudah dan terbuka bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat mereka, baik melalui formulir online, survei, atau media sosial resmi DPR.
• Keterlibatan Masyarakat Sipil:
o DPR harus melibatkan organisasi masyarakat sipil dan NGO yang fokus pada perlindungan konsumen, untuk memberikan pandangan mereka tentang bagaimana UU ini seharusnya dilaksanakan. Masyarakat sipil sering kali memiliki informasi yang lebih mendalam tentang kebutuhan konsumen yang kurang terwakili, seperti kelompok rentan dan miskin.
• Peran Serta Kelompok Rentan:
o Untuk memastikan keadilan sosial, DPR perlu memastikan bahwa kelompok rentan— seperti warga miskin, komunitas adat, dan warga di daerah 3T—mendapatkan tempat dalam konsultasi publik. Hal ini bisa dilakukan dengan membangun komunikasi langsung dengan tokoh lokal atau lembaga yang mewakili kelompok ini.
192. TRANSPARANSI PROSES LEGISLASI
Proses legislasi harus dapat diakses dan dipahami oleh publik. Transparansi dalam pembahasan undang-undang akan menghindari potensi keputusan yang hanya menguntungkan segelintir pihak dan memastikan kepercayaan publik terhadap DPR.
Langkah-langkah konkret yang bisa dilakukan DPR:
• Dokumen RUU yang Terbuka dan Mudah Diakses:
o DPR harus memastikan bahwa dokumen RUU yang sedang dibahas bisa diakses secara bebas oleh masyarakat, dengan bahasa yang jelas dan mudah dipahami. Publik perlu tahu apa saja substansi yang sedang dibahas, terutama dalam pasal-pasal yang berdampak langsung pada konsumen.
o Selain itu, ringkasan dan penjelasan terkait RUU juga harus dipublikasikan secara terbuka di website DPR dan platform digital lainnya.
• Transparansi dalam Pembahasan dan Rapat-rapat DPR:
o Semua rapat pembahasan RUU harus dilaksanakan secara terbuka dan disiarkan secara langsung kepada publik melalui media sosial DPR atau platform streaming lainnya. Hal ini memungkinkan masyarakat untuk memantau jalannya diskusi dan memberikan feedback secara real-time.
o Membuka akses kepada publik untuk mengajukan pertanyaan atau komentar yang bisa disampaikan melalui platform online selama pembahasan RUU berlangsung.
• Laporan Hasil Konsultasi Publik:
o Setelah melaksanakan konsultasi publik, DPR harus mengeluarkan laporan resmi yang merangkum hasil-hasil masukan dari masyarakat. Ini penting agar masyarakat tahu apa yang telah mereka sampaikan dan bagaimana masukan tersebut diterima atau dipertimbangkan dalam pembahasan RUU
3. PENGUATAN FUNGSI KOMITE DAN PANITIA KHUSUS
Di DPR, pembahasan RUU sering kali melibatkan komite-komite atau panitia khusus yang ditunjuk untuk menangani masalah-masalah tertentu. Agar proses legislasi lebih inklusif dan tidak hanya didominasi oleh kepentingan elit politik atau ekonomi, perlu ada penguatan pada fungsi komite-komite yang terkait dengan perlindungan konsumen.
Langkah-langkah konkret yang bisa dilakukan DPR:
• Pembentukan Panitia Khusus untuk Perlindungan Konsumen:
o DPR dapat membentuk panitia khusus (Pansus) atau Task Force yang terdiri dari anggota legislatif yang memiliki kepakaran di bidang ekonomi, hak asasi manusia, teknologi, dan perlindungan konsumen, serta melibatkan perwakilan dari masyarakat
sipil dan praktisi yang memiliki pengalaman langsung di lapangan.
20• Partisipasi Profesional dan Akademis:
o DPR perlu mengundang akademisi, praktisi hukum, dan pelaku industri yang terlibat dalam perlindungan konsumen untuk memberikan masukan yang berbasis pada data dan riset terkait dampak sosial dan ekonomi dari RUU tersebut.
4. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM SOSIALISASI YANG INKLUSIF
Sosialisasi mengenai RUU Perlindungan Konsumen harus dilakukan secara terstruktur dan inklusif, agar masyarakat yang lebih luas, terutama yang berada di daerah terpencil atau kurang terjangkau, bisa terlibat dalam diskusi dan memberikan input.
Langkah-langkah konkret yang bisa dilakukan DPR:
• Mengadakan Forum Sosialisasi di Daerah-daerah:
o Melakukan sosialisasi di daerah-daerah 3T dengan melibatkan tokoh masyarakat atau kelompok lokal yang bisa menjadi jembatan antara DPR dan masyarakat setempat.
• Pelibatan Masyarakat Melalui Media Komunitas:
o Menggunakan radio lokal, platform digital, dan event komunitas untuk melakukan sosialisasi RUU ini. Mengingat rendahnya akses internet di beberapa daerah, sosialisasi offline seperti lewat kelompok diskusi lokal juga penting.
5. MEMASTIKAN PENGAWASAN PUBLIK ATAS PROSES LEGISLASI
Agar proses legislasi RUU Perlindungan Konsumen tidak hanya menjadi elite-driven, DPR perlu memberikan ruang bagi pengawasan publik yang berkelanjutan.
Langkah-langkah konkret yang bisa dilakukan DPR:
• Mengaktifkan Forum Pengawasan Publik:
o Menyediakan platform pengawasan bagi masyarakat dan organisasi konsumen untuk mengajukan saran, kritik, atau laporan terkait proses legislasi yang sedang berlangsung. Ini juga bisa dilaksanakan melalui forum online di website DPR atau melalui aplikasi mobile yang mudah diakses masyarakat.
• Laporan Tahunan dan Evaluasi Publik:
o Setiap tahunnya, DPR dapat mengadakan evaluasi publik terkait pelaksanaan RUU Perlindungan Konsumen yang sudah diimplementasikan, dan mengundang masyarakat serta ahli untuk memberikan masukan dalam evaluasi tersebut.
KESIMPULAN:
Agar RUU Perlindungan Konsumen tidak hanya elite-driven dan benar-benar mewakili kepentingan publik, DPR harus:
1.Meningkatkan partisipasi publik dengan membuka ruang konsultasi yang lebih luas dan mudah diakses oleh masyarakat. 2. 2.Menjamin transparansi proses legislasi melalui dokumen yang terbuka, siaran langsung
rapat, dan laporan hasil konsultasi.
3.Memperkuat fungsi komite dan panitia khusus yang terlibat dalam pembahasan RUU ini dengan melibatkan perwakilan masyarakat sipil. Melakukan sosialisasi yang inklusif melalui forum di daerah-daerah, terutama daerah 3T, dan melibatkan media komunitas.
4.Memberikan ruang pengawasan publik atas seluruh proses legislasi agar masyarakat tetap bisa mengawasi dan memberikan masukan dalam setiap tahapan RUU. Dengan langkah-langkah ini, proses legislasi akan lebih transparan, partisipatif, dan mewakili kepentingan semua lapisan masyarakat, bukan hanya kelompok elite.
Salam Restorasi